Niat
Oleh: Novel Bin Muhammad Alaydrus
Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya setiap amal itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan memperoleh balasan sesuai dengan niatnya. Barang siapa berhijrah untuk memperoleh dunia atau untuk menikahi seorang wanita, maka (balasan) hijrahnya (hendaknya dia minta) kepada sesuatu yang dia jadikan sebagai tujuan hijrahnya.
Dalam hadis ini terdapat banyak pelajaran dan hikmah. Pertama, Imam Syafi’i dan Ahmad ra menyatakan bahwa hadis ini telah mencakup sepertiga ilmu. Ketika mengomentari pernyataan di atas, Imam Abu Bakar Al-Baihaqi ra berkata, “Sarana amal manusia ada tiga, yaitu hati, lisan dan anggota tubuh. Dari ketiga sarana tersebut, niat merupakan sarana terbaik. Sebab, sekedar niat telah bernilai ibadah, lain halnya dengan lisan dan anggota tubuh. Karena itulah disebutkan bahwa niat seorang Mukmin lebih baik daripada amalnya. Mengapa demikian? Sebab, ucapan dan amal yang dilakukan oleh anggota tubuh dapat dirusak oleh riya` dan tidak demikian dengan niat.
Kedua, dalam hadis di atas Rasulullah saw menggunakan kata amal dan niat dalam bentuk jamak. Dalam kaidah ushul nahwu disebutkan:
Sesungguhnya, jika setelah suatu kata dalam bentuk jamak disebutkan kata lain dalam bentuk jamak pula, maka hal ini menunjukkan bahwa kedua kata tersebut memiliki banyak jenis.
Artinya, dalam satu amal dapat kita bei niat sebanyak mungkin. Oleh karena itu, Sayid ‘Abdullâh bin ‘Alwî Al-Haddâd ra berkata dalam sebuah bait syairnya:
Berusahalah untuk selalu mencari
dan memperbanyak niat-niat saleh
serta mawas diri dan bersikap khusyuk
Selanjutnya Sayid Ahmad bin Zein Al-Habsyi ra berkata:
Banyak sedikitnya niat adalah tergantung pada kesungguhan seseorang di dalam mencari kebajikan, keluasan ilmunya dan usahanya untuk menghadirkan niat-niat yang baik. Semakin banyak niat baik yang ditetapkan, maka sebuah amal akan menghasilkan pahala yang banyak dan berlipat ganda.
Sah tidaknya sebuah amal dan berlipatnya pahala amal tergantung pada niat. Akan tetapi, niat tidak dapat merubah sebuah maksiat menjadi taat. Sebagai contoh adalah seseorang yang menggunjing orang lain dengan niat untuk menyenangkan hati pendengarnya. Ini adalah sebuah maksiat dan niat untuk menyenangkan orang lain tersebut sama sekali tidak bermanfaat.
Adapun hal-hal yang mubâh dapat menjadi amalan yang baik jika niatnya benar. Dalam sebuah hadis disebutkan:
“Barang siapa memakai wewangian semata-mata untuk Allah, maka kelak di hari kiamat ia akan datang dengan bau yang lebih harum dari aroma misk.” (HR Abû Wâlid Ash-Shaffâr)
Contoh niat baik dalam memakai parfum di hari Jumat adalah untuk meneladani Rasulullah saw, memuliakan masjid dengan wewangian, menghormati penghuni masjid, menghibur orang-orang yang duduk di dekatnya atau yang ia lewati dalam perjalanan, menghilangkan bau-bau tak sedap yang mengganggu orang lain dan untuk menutup kesempatan bagi orang lain untuk menggunjingnya karena tubuhnya memiliki aroma yang tidak sedap. Di samping itu memakai wewangian dapat pula diniatkan untuk memperkuat daya pikir sehingga kecerdasan beragamanya semakin kuat. Sebab, kekuatan berpikir terletak di tengah otak yang merupakan ungkapan hati. Di dalam kekuatan berpikir terletak daya imajinasi dan daya hapal dan di luarnya terdapat daya dzikir. Imam Syâfi’î rhm berkata:
“Barang siapa yang aroma (tubuhnya) harum, niscaya daya pikirnya bertambah kuat.”
Ketiga, kata innamâ dalam hadis di atas memiliki dua arti, pertama sebagai penegas, kedua sebagai pembatas. Sebagai penegas kata innamâ memiliki arti sesungguhnya. Sebagai pembatas kata innamâ menunjukkan bahwa sah tidaknya atau diterima tidaknya sebuah amal tergantung pada niatnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap ibadah, wajib maupun sunah, sedikit maupun banyak, tidaklah sah tanpa niat. Sehingga jika ada seseorang meninggalkan perbuatan zina karena melaksanakan perintah agama, maka dia memperoleh pahala dan jika karena takut tercemar nama baiknya atau karena sudah tua, maka dia tidak memperoleh pahala meninggalkan yang diharamkan Allah.
Keempat, kata hijrah. Hijrah secara bahasa berarti meninggalkan. Dalam hadis di atas hijrah berarti meningalkan tanah air dan keluarga. Oleh karena itu para sahabat yang pindah dari Mekah menuju Madinah disebut sebagai Muhajirin. Hadis ini ditujukan kepada seseorang warga Mekah yang berhijrah ke Madinah karena ingin menikah seorang wanita Mekah yang berhijrah ke sana. Akhirnya lelaki tersebut dipanggil dengan sebutan Muhajir Ummu Qais. Bukankah wanita merupakan bagian dari perhiasan dunia ini? Mengapa setelah menyebutkan dunia, Rasulullah saw menyebutkan wanita? Hikmahnya adalah untuk menunjukan kepada kita semua, bahwa tipu daya dan godaan terbesar pria di dunia ini adalah wanita. إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِيءٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى اِمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ وَلِصَالِحِ النِّيَّاتِ كُنْ مُتَحَرِّيًا مُتَكَثِّرًا مِنْهَا وَرَاقِبْ وَاخْشَعِ أَنَّ الْجَمْعَ إِذَا ذُكِرَ فِيْ مُقَابَلَةِ الْجَمْعِ يُفِيْدُ التَّوْزِيْعَ مَنْ تَطَيَّبَ ِللهِ جَآءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَرِيْحُهُ أَطْيَبُ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ مَنْ طَابَ رِيْحُهُ زَادَ عَقْلُهُ
Oleh: Novel Bin Muhammad Alaydrus
Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya setiap amal itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan memperoleh balasan sesuai dengan niatnya. Barang siapa berhijrah untuk memperoleh dunia atau untuk menikahi seorang wanita, maka (balasan) hijrahnya (hendaknya dia minta) kepada sesuatu yang dia jadikan sebagai tujuan hijrahnya.
Dalam hadis ini terdapat banyak pelajaran dan hikmah. Pertama, Imam Syafi’i dan Ahmad ra menyatakan bahwa hadis ini telah mencakup sepertiga ilmu. Ketika mengomentari pernyataan di atas, Imam Abu Bakar Al-Baihaqi ra berkata, “Sarana amal manusia ada tiga, yaitu hati, lisan dan anggota tubuh. Dari ketiga sarana tersebut, niat merupakan sarana terbaik. Sebab, sekedar niat telah bernilai ibadah, lain halnya dengan lisan dan anggota tubuh. Karena itulah disebutkan bahwa niat seorang Mukmin lebih baik daripada amalnya. Mengapa demikian? Sebab, ucapan dan amal yang dilakukan oleh anggota tubuh dapat dirusak oleh riya` dan tidak demikian dengan niat.
Kedua, dalam hadis di atas Rasulullah saw menggunakan kata amal dan niat dalam bentuk jamak. Dalam kaidah ushul nahwu disebutkan:
Sesungguhnya, jika setelah suatu kata dalam bentuk jamak disebutkan kata lain dalam bentuk jamak pula, maka hal ini menunjukkan bahwa kedua kata tersebut memiliki banyak jenis.
Artinya, dalam satu amal dapat kita bei niat sebanyak mungkin. Oleh karena itu, Sayid ‘Abdullâh bin ‘Alwî Al-Haddâd ra berkata dalam sebuah bait syairnya:
Berusahalah untuk selalu mencari
dan memperbanyak niat-niat saleh
serta mawas diri dan bersikap khusyuk
Selanjutnya Sayid Ahmad bin Zein Al-Habsyi ra berkata:
Banyak sedikitnya niat adalah tergantung pada kesungguhan seseorang di dalam mencari kebajikan, keluasan ilmunya dan usahanya untuk menghadirkan niat-niat yang baik. Semakin banyak niat baik yang ditetapkan, maka sebuah amal akan menghasilkan pahala yang banyak dan berlipat ganda.
Sah tidaknya sebuah amal dan berlipatnya pahala amal tergantung pada niat. Akan tetapi, niat tidak dapat merubah sebuah maksiat menjadi taat. Sebagai contoh adalah seseorang yang menggunjing orang lain dengan niat untuk menyenangkan hati pendengarnya. Ini adalah sebuah maksiat dan niat untuk menyenangkan orang lain tersebut sama sekali tidak bermanfaat.
Adapun hal-hal yang mubâh dapat menjadi amalan yang baik jika niatnya benar. Dalam sebuah hadis disebutkan:
“Barang siapa memakai wewangian semata-mata untuk Allah, maka kelak di hari kiamat ia akan datang dengan bau yang lebih harum dari aroma misk.” (HR Abû Wâlid Ash-Shaffâr)
Contoh niat baik dalam memakai parfum di hari Jumat adalah untuk meneladani Rasulullah saw, memuliakan masjid dengan wewangian, menghormati penghuni masjid, menghibur orang-orang yang duduk di dekatnya atau yang ia lewati dalam perjalanan, menghilangkan bau-bau tak sedap yang mengganggu orang lain dan untuk menutup kesempatan bagi orang lain untuk menggunjingnya karena tubuhnya memiliki aroma yang tidak sedap. Di samping itu memakai wewangian dapat pula diniatkan untuk memperkuat daya pikir sehingga kecerdasan beragamanya semakin kuat. Sebab, kekuatan berpikir terletak di tengah otak yang merupakan ungkapan hati. Di dalam kekuatan berpikir terletak daya imajinasi dan daya hapal dan di luarnya terdapat daya dzikir. Imam Syâfi’î rhm berkata:
“Barang siapa yang aroma (tubuhnya) harum, niscaya daya pikirnya bertambah kuat.”
Ketiga, kata innamâ dalam hadis di atas memiliki dua arti, pertama sebagai penegas, kedua sebagai pembatas. Sebagai penegas kata innamâ memiliki arti sesungguhnya. Sebagai pembatas kata innamâ menunjukkan bahwa sah tidaknya atau diterima tidaknya sebuah amal tergantung pada niatnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap ibadah, wajib maupun sunah, sedikit maupun banyak, tidaklah sah tanpa niat. Sehingga jika ada seseorang meninggalkan perbuatan zina karena melaksanakan perintah agama, maka dia memperoleh pahala dan jika karena takut tercemar nama baiknya atau karena sudah tua, maka dia tidak memperoleh pahala meninggalkan yang diharamkan Allah.
Keempat, kata hijrah. Hijrah secara bahasa berarti meninggalkan. Dalam hadis di atas hijrah berarti meningalkan tanah air dan keluarga. Oleh karena itu para sahabat yang pindah dari Mekah menuju Madinah disebut sebagai Muhajirin. Hadis ini ditujukan kepada seseorang warga Mekah yang berhijrah ke Madinah karena ingin menikah seorang wanita Mekah yang berhijrah ke sana. Akhirnya lelaki tersebut dipanggil dengan sebutan Muhajir Ummu Qais. Bukankah wanita merupakan bagian dari perhiasan dunia ini? Mengapa setelah menyebutkan dunia, Rasulullah saw menyebutkan wanita? Hikmahnya adalah untuk menunjukan kepada kita semua, bahwa tipu daya dan godaan terbesar pria di dunia ini adalah wanita. إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِيءٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى اِمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ وَلِصَالِحِ النِّيَّاتِ كُنْ مُتَحَرِّيًا مُتَكَثِّرًا مِنْهَا وَرَاقِبْ وَاخْشَعِ أَنَّ الْجَمْعَ إِذَا ذُكِرَ فِيْ مُقَابَلَةِ الْجَمْعِ يُفِيْدُ التَّوْزِيْعَ مَنْ تَطَيَّبَ ِللهِ جَآءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَرِيْحُهُ أَطْيَبُ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ مَنْ طَابَ رِيْحُهُ زَادَ عَقْلُهُ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar