25 Nov 2007

Proses Otomatisasi Perencanaan Spasial Untuk Penggunaan Tanah

Trends, Yang baru ?
Proses Otomatisasi Perencanaan Spasial Untuk Penggunaan Tanah

http://locsupport.blogspot.com/2007_11_29_archive.html

Oleh: Prof. Dr.Ir. H.M. Nad Darga Talkurputra

Ringkasan

Pembangunan Perkotaan memerlukan pengelolaan pertanahan yang handal agar pembangunan memberikan manfaat yang optimal, serasi dengan lingkungannya dan berkelanjutan. Pengelolaan pertanahan perkotaan berfokus pada penataan ruang, pembatasan luas penguasaan/ pemilikan tanah perkotaan, spekulasi tanah, harga tanah dan konsolidasi tanah. Untuk memajukan pengelolaan pertanahan, maka arah pembangunan Sistem Informasi Geografi sebagai bagian dari sistem manajemen pertanahan mempunyai tahapan adopsi, aplikasi dasar dan aplikasi lanjut yang terkait dengan pengelolaan pertanahan baik dalam bidang perencanaan, pelaksanaan maupun pengendalian pembangunan wilayah/perkotaan. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi perlu memperhatikan dimensi sumberdaya manusia, perangkat keras, perangkat lunak, metodologi/ prosedur kerja dan format/struktur data yang baku.. Hasil interaksi diantara dimensi-dimensi ini dirancang suatu sistem yang didefinisikan sebagai Data Pokok Penatagunaan Tanah Indonesia / ILUD (“Indonesia Land Use Databank”) yang berbasis ARC/INFO. Untuk mencapai efisiensi yang optimal, maka disusunlah suatu proses otomatisasi dalam ILUD baik dalam hal pengumpulan, pengolahan/analisa dan penyajian data. Akhirnya, pemanfaatan Sistem Informasi Geografi mempunyai tantangan dalam hal sumberdaya manusia, perangkat keras/lunak, bahan dan jaminan sistem perawatan yang berkelanjutan.

PENDAHULUAN

Upaya mewujudkan pembangunan perkotaan yang berwawasan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup memerlukan manajemen pertanahan yang handal. Hal ini sejalan dengan pembangunan perkotaan yang cenderung semakin luas sebagai konsekwensi dari meningkatnya kegiatan ekonomi dan pertumbuhan penduduk serta sebagai penggerak pembangunan di wilayah sekitarnya. Dengan demikian arah manajemen pertanahan harus selaras dengan pembangunan perkotaan.

Secara umum ciri perkotaan adalah ruang yang relatif sempit, masyarakatnya heterogen dan dinamika kegiatannya tinggi. Di beberapa bagian perkotaan menunjukan intensitas yang begitu besar sehingga menimbulkan masalah perkotaan seperti perumahan kumuh, kurangnya sanitasi, kemacetan lalu lintas dan lainnya. Kondisi ini akhirnya akan mendorong semakin kompleknya masalah pertanahan yang berkaitan dengan kepentingan perorangan, badan hukum dan negara.

Penanganan pertanahan perkotaan dalam suatu sistem manajemen pertanahan memerlukan informasi pertanahan yang mutakhir, akurat dan sejalan dengan dinamika pembangunan perkotaan yang semakin tinggi. Informasi ini dikumpulkan, diolah, disimpan dan disajikan dalam suatu Sistem Informasi Geografi melalui perangkat komputerisasi. Keunggulan sistem ini, kecuali unsur kecepatan dalam pengolahan dan penyajian juga mempunyai efisiensi yang tinggi dalam hal mengantisipasi penyediaan ruang/ “space” di perkotaan yang semakin mahal dan cenderung menjadi langka.

Melalui KEPPRES Nomor 26 Tahun 1988 tentang pembentukan Badan Pertanahan Nasional, maka pemanfaatkan Sistem Informasi Geografi untuk mendukung kebijaksanaan pertanahan nasional baik pedesaan dan perkotaan menjadi lebih intensif. Hal ini diawali pada tahun 1991, melalui Proyek LUPAM, LREP-II, SIG Matra Darat dan INEV yang penekanannya pada peningkatan insitusi. Sementara itu sejak tahun 1996, Badan Pertanahan Nasional mempunyai Proyek LAP dan LOC yang berkaitan dengan pendaftaran tanah dan layanan administrasi pertanahan.

Untuk mewujudkan suatu sistem informasi geografi sebagai bagian dari sistem manajemen pertanahan, maka diperlukan suatu sistem yang baku/ standar baik dalam struktur basis data, model analisa, bentuk keluaran dan cara-cara layanan baik untuk kepentingan internal Badan Pertanahan Nasional maupun berbagai pihak yang memerlukan informasi keruangan tentang tanah. Sampai saat ini, pembakuan itu dirancang dalam satu sistem yang dikenal dengan Data Pokok Penatagunaan Tanah Indonesia / ILUD (“Indonesia Land Use Databank”) yang operasionalnya melalui proses otomatisasi. Sistem ini adalah sistem yang fleksibel dan diusahakan selalu akomodatif terhadap perkembangan layanan, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.

KEBIJAKSANAAN PENATAAN PERTANAHAN PERKOTAAN

Kebijaksanaan pertanahan menekankan pada pengaturan penguasaan dan penatagunaan tanah yang mengacu kepada Undang-Undang Pokok Agraria (UU Nomor 5/1960) dan perundangan lainnya yang menyangkut pemanfaatan tanah seperti Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Nomor 4 tahun 1982), Undang-Undang Penataan Ruang (UU Nomor 24 Tahun 1992) dan lainnya. Fokus pengaturan penguasaan tanah dan penatagunaan tanah adalah mengatur pemanfaatan tanah yang mampu memberikan manfaat ekonomi secara optimal, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan serasi dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam pembangunan perkotaan, GBHN 1993 mengarahkan bahwa :

“Pembangunan Perkotaan ditingkatkan dan diselenggarakan secara berencana dan terpadu dengan memperhatikan rencana umum tata ruang, pertumbuhan penduduk, lingkungan permukiman, lingkungan usaha dan lingkungan kerja serta kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial lainnya agar terwujud pengelolaan perkotaan yang efisien dan tercipta lingkungan yang sehat, rapi, aman dan nyaman. Perhatian khusus perlu diberikan pada peningkatan sarana dan prasarana umum yang layak. Keserasian hubungan masyarakat perkotaan dan perdesaan serta antara masyarakat kota terus diupayakan agar terwujud keserasian kehidupan masyarakat dalam segala aspek kehidupan.”

Untuk menunjang tercapainya tujuan pembangunan seperti yang diarahkan oleh GBHN tersebut, maka kebijaksanaan tanah perkotaan sekarang dan di waktu yang akan datang berkaitan dengan penataan ruang, batas pemilikan tanah baik perorangan maupun Badan Hukum, penanggulangan spekulasi tanah dan pengendalian harga tanah serta konsolidasi tanah memerlukan penanganan yang serius.

1. Kaitan dengan penataan ruang.

Guna mewujudkan penataan ruang perkotaan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992, maka perencanaan tata ruang perkotaan harus memperhatikan struktur penggunaan tanah serta aspek penguasaan/pemilikan tanah yang ada. Struktur penggunaan tanah perkotaan sangat berbeda dengan struktur penggunaan tanah pedesaan. Secara fisik, struktur penggunaan tanah perkotaan didominasi oleh penggunaan tanah non-pertanian seperti perumahan, perkantoran dan jasa lainnya.

Dalam penggunaan tanah perkotaan, dimensi letak (lokasi) menjadi lebih bernilai dibandingkan dengan sifat fisiknya (Maurice, 1974). Penggunaan tanah cenderung mempunyai dimensi vertikal sebagai akibat dari kelangkaan “space”/ruang dan strukturnya sangat dipengaruhi oleh utilitas yang tersedia. Sedangkan penguasaan tanah perkotaan secara umum menunjukkan luas kapling yang relatif kecil-kecil yang dimiliki oleh perorangan dan cenderung menjadi kumuh. Kurangnya perhatian terhadap aspek penggunaan tanah dan aspek penguasaan tanah menimbulkan masalah yang tidak kecil dalam aplikasi rencana tata ruang perkotaan. Kadang-kadang rencana terpaksa direvisi karena ketidaksesuaian antara rencana dan kondisi lapangan yang sangat cepat berubah serta estimasi biaya perolehan tanah yang tidak akurat adalah beberapa contoh dari pentingnya informasi penggunaan tanah dan penguasaan tanah.

Kebijaksanaan pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup adalah jaminan terhadap kelangsungan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau ini mempunyai fungsi “hidro-orologis”, nilai estetika dan seyogyanya sekaligus sebagai wahana interaksi sosial bagi penduduk di perkotaan. Taman-taman di kota menjadi wahana bagi kegiatan masyarakat untuk acara keluarga, bersantai, olah raga ringan dan lainnya. Demikian pentingnya ruang terbuka hijau ini, maka hendaknya semua pihak yang terkait harus mempertahankan keberadaannya dari keinginan untuk merobahnya.

Pengertian ruang terbuka hijau perlu dibakukan untuk menghindari salah tafsir yang bentuk penggunaan tanahnya dapat berupa taman, hutan kota bahkan tanah pertanian seperti sawah. PAKTO 93 yang dijabarkan lebih lanjut melalui Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 410-1851 dan 460-3346 Tahun 1994 menyatakan larangan konversi sawah irigasi teknis menjadi non-sawah. Dalam hal ini, sepanjang Rencana Tata Ruang menyatakan suatu wilayah menjadi ruang terbuka hijau, dan sudah terlanjur menjadi bangunan maka Badan Pertanahan Nasional tidak akan memperpanjang Hak Guna Bangunan yang ada. Namun di sisi lain, kebijaksanaan pertanahan juga perlu memperhatikan kepentingan pemilik tanah sawah. Suatu pemikiran keringanan pajak bumi dan bangunan ataupun insentif lainnya merupakan kebijaksanaan yang mendorong pemilik tanah tidak tergoda oleh kenaikan harga tanahnya.

2. Pembatasan luas penguasaan/pemilikan tanah perkotaan.

Dengan meningkatnya kebutuhan tanah pemukiman perkotaan, ada gejala penguasaan/pemilikan tanah secara berlebihan oleh golongan mampu baik perorangan maupun Badan Hukum. Usaha pencegahan penguasaan/ pemilikan tanah di perkotaan melalui mekanisme sebagaimana yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 59/DDA/1970, namun dalam pelaksanaannya belum berjalan efektif. Hal ini sangat berkaitan dengan Sistem Pendataan Kependudukan yang masih dalam taraf pembakuan secara nasional, di samping itu bagi perusahaan belum diatur dalam keputusan tersebut. Sehubungan dengan itu, Pemerintah sedang mengambil langkah-langkah untuk mengatur batasan maksimum penguasaan dan pemilikan tanah.

Salah satu instrumen pengendalian penguasaan tanah adalah ijin lokasi. Mekanisme ijin lokasi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 20 Tahun 1994 mempunyai 3 (tiga) makna utama yaitu ijin untuk menggunakan tanah sesuai dengan tata ruang, memperoleh tanah dan mengalihkan hak atas tanah. Untuk memberi gambaran, Badan Pertanahan Nasional telah menerbitkan ijin lokasi perumahan baik sebelum dan sesudah PAKTO 93 seluas 121.629 hektar dan yang benar-benar telah dimanfaatkan adalah 13.275 hektar. Dengan menggunakan pola 1:3:6 dan laju pertumbuhan penduduk tetap, maka ijin lokasi yang diterbitkan mampu menyediakan tanah perumahan sampai tahun 2018 (akhir PJP-II). Untuk sementara ini, Badan Pertanahan Nasional tidak akan mengeluarkan ijin baru di luar ijin lokasi yang sudah ada sebagaimana yang dinyatakan dalam Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-2784 tanggal 3 Oktober 1996 tentang Penertiban Ijin Lokasi Perumahan/Permukiman di Wilayah BOTABEK.

Dalam rangka antisipasi globalisasi ekonomi, maka kebijaksanaan pertanahan memungkinkan pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia. Kebijaksanaan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 dan dijabarkan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1996 dan Nomor 8 Tahun 1996. Kebijaksanaan ini perlu didukung oleh instansi terkait untuk menghindari adanya maksud-maksud lain yang bertentangan dan mendorong keunggulan bersaing dalam bidang investasi modal asing.

3. Spekulasi Tanah dan Harga Tanah.

Kelangkaan tanah sebagai akibat dari permintaan tanah yang meningkat jauh lebih besar dari tanah yang dapat disediakan mendorong kenaikan harga tanah menjadi tidak terkendali. Hal ini mengakibatkan pesatnya pertumbuhan pemukiman di pinggiran kota yang harga tanahnya relatif lebih murah dibandingkan di kota. Kondisi ini menimbulkan dampak sosial yang tidak sedikit sehubungan dengan pendatang dan masyarakat lokal, kekurangan utilitas dan menimbulkan kemacetan lalu lintas yang cenderung terus bertambah. Di sisi lain, kelangkaan tanah ini mendorong spekulan tanah untuk menguasai tanah-tanah di pinggiran perkotaan. Ulah spekulan ini sangat mengganggu kelancaran alokasi pembangunan yang memerlukan tanah dan akhirnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi (“high cost initial investment”). Komponen tanah merupakan salah satu faktor penting dalam struktur biaya investasi.

Untuk mengendalikan ulah spekulan dan harga tanah ini dapat melalui perangkat perundang-undangan. Pada saat ini, Badan Pertanahan Nasional sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tanah Terlantar yang dalam tahap akhir pembahasan. Pengendalian juga memerlukan pembakuan harga dasar tanah yang berlaku bagi semua pihak, pembentukan bank tanah, pemasyarakatan rencana tata ruang dan penyempurnaan instrumen perpajakan.

4. Konsolidasi Tanah.

Konsolidasi Tanah, yaitu penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah yang melibatkan partisipasi aktif para pemilik tanah. Konsep Konsolidasi Tanah menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991, sasaran pengaturannya adalah pada bidang-bidang tanah yang ditata kembali mengenai bentuk, luas dan letaknya sehingga nilai tanah meningkat. Dalam hal ini, pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada Pemerintah untuk ditata kembali dan ada sebagaian yang dipergunakan untuk pembangunan sarana umum dan sebagian yang dipergunakan untuk TPBP (Tanah Pengganti Biaya Pelaksanaan). Azas yang dipakai dalam pelaksanaan konsolidasi tanah ini adalah musyawarah.

Aspek yang paling sulit dalam pelaksanaan konsolidasi tanah ini adalah penetapan bagian tanah yang harus diserahkan dan persetujuan para pemilik tanah terhadap desain tata ruang yang dibuat. Hal ini berkaitan dengan letak/posisi kavling baru dan luas tanah yang diberikan kembali kepada pemiliknya. Upaya mengoptimalkan pelaksanaan konsolidasi tanah semestinya sejalan dengan program pembangunan perkotaan lainnya, sehingga konsolidasi tanah kecuali dapat menyediakan tanah untuk pembangunan utilitas juga memberi manfaat optimal bagi pemilik tanah tanpa ada pemindahan penduduk yang sering menimbulkan gejolak sosial.

ARAH PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI.

Pengembangan Sistem Informasi Geografi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional mempunyai arti yang sangat strategis untuk mendukung kebijaksanaan pertanahan baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sebagai bagian dari manajemen pertanahan, pemanfaatan sistem informasi geografi harus mampu mengoptimalkan aspek pelayanan pertanahan untuk memenuhi tuntutan pelayanan yang cepat, teliti dan sederhana. Pemanfaatan teknologi ini menuntut perubahan pola pikir, pola laku dan pola tindak segenap jajaran Badan Pertanahan Nasional agar memperoleh manfaat yang optimal. Di sisi lain, ruang lingkup dunia usaha menjadi semakin kompetitif dan informasi keruangan/pertanahan menjadi suatu komoditi. Kecenderungan ini perlu diantisipasi melalui penanganan yang profesional.

Arah pengembangan Sistem Informasi Geografi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional terdiri dari:

Tahap Adopsi.
Penekanan dalam tahap ini adalah tahap konversi dari sistem manual ke sistem komputerisasi. Tahap ini dimulai pada tahun 1992 s/d 1997 yang terdiri dari :

Pertama, dimulai dengan penyiapan sumberdaya manusia melalui serangkaian pelatihan yang bersistematis dalam Survey, Interpretasi Citra/ Penginderaan Jauh, Pendigitasian dan Manajemen GIS baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Kedua, penyediaan perangkat keras, perangkat lunak dan pembakuan format data.

Ketiga, pembakuan metodologi aplikasi dan sistem komunikasi data antara Pusat – Kanwil BPN – Kantor Pertanahan. Jaringan Komunikasi data/ informasi antara Pusat – Kanwil BPN Propinsi – Kantor Pertanahan Kabupaten/Kodya diarahkan bagi efisiensi dan efektifitas pengiriman data/informasi dan bimbingan teknis.

Melalui Proyek LUPAM dan LREP-II tahap ini telah berjalan dengan baik dan dapat dilihat dari indikator terlatihnya kemampuan staf dalam Sistem Informasi Geografi, tersedianya perangkat GIS di 27 Kanwil BPN, pembakuan format data melalui Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1997 serta tersedianya Data Pokok Penatagunaan Tanah Indonesia / ILUD (“Indonesia Land Use Databank”).

Tahap Aplikasi Dasar.
Dalam tahap ini penekanannya adalah pembangunan basis data, penyususunan model-model aplikasi penatagunaan tanah, sistem pemasyarakatan informasi dan sistem swakelola dalam perawatan sistem. Tahap ini dimulai pada tahun 1994 s/d 1999 dan dilaksanakan melalui Proyek Informasi Geografi Matra Darat, Proyek Inventarisasi Sumber Daya Alam dan akan diperluas lebih lanjut melalui Proyek Pemetaan dan Inventarisasi Data Penggunaan Tanah / LDIM (Land Use Data Inventory & Mapping) yang diharapkan dapat dimulai pada tahun 1998.

3. Tahap Aplikasi Lanjut.

Dalam tahap ini seluruh aspek pelayanan penatagunaan baik di Pusat, Kanwil Badan Pertanahan Propinsi dan Kantor Pertanahan terintegrasi dalam Sistem Informasi Manajemen Pertanahan yang berbasis Sistem Informasi Geografi dan Sistem Informasi Pertanahan (“Land Information System”). Dengan tersedianya basis data yang lengkap, perangkat keras dan lunak, format data yang baku, tersedianya staf yang memadai serta ditunjang sistem komunikasi data yang handal maka cita-cita pelayanan yang cepat, teliti dan biaya yang relatif murah akan terwujud. Untuk mencapai tahap ini, maka persiapan-persiapan telah dimulai bersama-sama proyek-proyek lain seperti Proyek Administrasi Pertanahan / LAP (“Land Administration Project”) dan Proyek Komputerisasi Kantor Pertanahan / LOC (“Land Office Computerization”).

PROSES OTOMATISASI PERENCANAAN SPASIAL UNTUK PENGGUNAAN TANAH.

Proses otomatisasi ini meliputi kegiatan-kegiatan pengumpulan data, pengolahan dan analisis serta penyajian yang dilaksanakan dalam alur yang logik dan sistematis berdasarkan prosedur baku operasi (“standard operating procedure”) dengan bantuan perangkat komputer. Fokus pengumpulan data adalah memperoleh data/informasi baik yang langsung maupun tak langsung dan data/informasi yang dimaksud harus sesuai dengan tujuannya. Dalam pengolahan dan analisa kegiatan diarahkan untuk mempersiapkan data/ informasi baik berupa seleksi, validasi dan lainnya untuk siap disajikan bagi tujuan yang telah digariskan terlebih dahulu. Sedangkan penyajian data adalah upaya untuk mengemas data/informasi bagi pengguna data/informasi tersebut. Dalam Sistem Informasi Geografi, penyajian data/informasi disajikan dalam peta dan dilengkapi dengan uraiannya.

Proses otomatisasi perencanaan spasial penatagunaan tanah tidak lepas dari pola pikir penatagunaan tanah sebagaimana yang disajikan dalam Lampiran 1. Dalam pola pikir ini, seluruh rangkaian kegiatan penatagunaan tanah mempunyai rangkaian manajemen pertanahan dalam mendukung rencana dan implementasi tata ruang. Hasil keluaran pola pikir tersebut menjadi umpan balik ke depan, sehingga dapat menjamin kelanggengan sistem tersebut/bersifat dinamis (“management cycles”).

Secara garis besar sistem otomatisasi ini meliputi proses persiapan basis data, analisa data pengendalian dan pemantauan seperti yang disajikan dalam Lampiran 2. Adapun inti alur kegiatannya adalah :

1. Persiapan Basis Data.

Basis Data yang dihimpun terdiri dari dua jenis yaitu: basis data grafis (peta) yang disimpan sebagai GIS format dan basis data numerik (bisa sebagai atribut, statistik dan lainnya) yang disimpan sebagai “database” format dan kedua jenis data tersebut saling berhubungan. Contoh basis data yaitu terdiri dari layer-layer peta dasar, layer tematik (penggunaan tanah, kemampuan tanah, lereng, iklim, geologi, sifat fisik tanah dan lainnya). Layer-layer ini diperoleh langsung dari kegiatan penatagunaan tanah maupun dari intansi lain. Selain data-data grafis/peta, basis data ini dilengkapi dengan data-data sosial ekonomi seperti kependudukan, perekonomian dan lainnya.

Modul-modul yang ada di ILUD dalam tahap ini meliputi ILUDENTR (ILUD Entry), ILUDPROC (ILUD Process) dan lainnya.

2. Analisa Data.

Dalam analis data, proses otomatisasi menggunakan kriteria peruntukan sektoral dan kriteria yang digunakan oleh Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN). Kriteria ini kemudian disesuaikan dengan karakteristik wilayah/daerah dan dipandu oleh kebijaksanaan pembangunan baik yang dinyatakan dalam REPELITA/REPELITADA maupun Rencana Tata Ruang Wilayah/Daerah yang bersangkutan. Dengan otomatisasi analisa dapat dilaksanakan dengan mudah dan cepat dan tersaji dalam format laporan yang baku. Selain dari pada itu, otomatisasi untuk kegiatan yang baku seperti analisis kesesuaian tanah menjadi sangat efisien jika dibandingkan dengan “satu-satu langkah” proses. Keunggulan otomatisasi akan mendorong produktivitas kerja dan sekaligus mengarah pada efisiensi biaya produksi.

Modul-modul yang tersedia terdiri dari ILUDSED (ILUD Persediaan Tanah), ILUDKES (ILUD Kesesuaian Tanah) dan lainnya.

3. Pengendalian dan Pemantauan.

Yang dimaksud dengan pemantauan adalah kegiatan membandingkan data/informasi dalam kerangka “time series”. Hasil pemantauan ini dipakai sebagai bahan pembaharuan data dan bahan kajian penyempurnaan sistem yang disajikan dalam peta, angka dan simbol. Hasil pemantauan juga dipakai sebagai sarana pengendalian dari ijin lokasi yang telah terbit. Pengendalian dan pemantauan ini dilaksanakan melalui mekanisme pertanahan rutin yang ada di Kantor Pertanahan maupun di Kanwil Badan Pertanahan Nasional. Kemudian dalam jangka waktu tertentu (misalnya per 10 tahun/5 tahun) kegiatan pengendalian dan pemantauan dapat dilaksanakan secara fotogrametris/penginderaan jauh.

Untuk memberi gambaran lengkap terhadap proses otomatisasi ini, berikut adalah contoh perencanaan spasial penggunaan tanah untuk perumahan (Lampiran 3). Adapun garis besar alur kegiatannya adalah sebagai berikut :

Penyiapan Basis Data yang terdiri dari layer-layer penggunaan tanah, kemampuan tanah, jenis tanah, geologi, batas administrasi, tata ruang wilayah dan penyebaran ijin lokasi.
Proses Analisa menggunakan teknik tumpang tindih (“overlay”) sebagai berikut:
Dengan menggunakan kriteria sektoral peruntukan tanah seperti lereng, kemampuan tanah, jenis tanah dan geologi dibuat peta kesesuaian tanah perumahan.
Hasil tumpang tindih layer peta kesesuaian tanah perumahan, layer tata ruang wilayah untuk perumahan, layer penggunaan tanah, penyebaran ijin lokasi dan batas administrasi akan menghasilkan layer persediaan tanah perumahan.
Layer persediaan tanah perumahan ini dipakai sebagai bahan rapat koordinasi ijin lokasi.
Kemajuan Proses Otomatisasi selain untuk analisa juga telah diuji-coba dengan baik melalui komunikasi pengiriman peta penggunaan tanah dari Kanwil BPN Propinsi Kalimantan Timur di Samarinda ke Kantor Pusat BPN di Jalan H. Agus Salim No. 58, Jakarta Pusat. Hasil uji coba menunjukan bahwa dalam waktu relatif cepat pekerjaan pengumpulan data, analisa dan penyajian hasil dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini didukung oleh sistem komunikasi data melalui jaringan internet (e-mail) dan dipandu oleh “homepage” BPN yang diparkir di http://www.geocities.com/Tokyo/2439/.

Proses otomatisasi perencanaan spasial penggunaan tanah dirancang bersamaan dengan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penatagunaan Tanah yang sampai saat ini memasuki tahap pembahasan akhir. Gabungan antara nilai teknologi dan perangkat perundangan akan mempercepat terwujudnya layanan pertanahan yang mampu memenuhi tuntutan masyarakat modern.

TANTANGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI.

Sejalan dengan tuntutan jaman yang cenderung bergerak cepat dan penanganan yang profesionalisme, dalam pemanfaatan Sistem Informasi Geografi Badan Pertanahan Nasional menghadapi tantangan sebagai berikut :

1. Penyediaan Sumberdaya Manusia.

Dalam sistem komputerisasi penyediaan sumberdaya manusia merupakan hal yang sangat penting. Kebijaksanaan “zero growth” dalam pengangkatan pegawai baru, mendorong optimalisasi sumberdaya manusia yang ada melalui serangkaian pelatihan yang formal maupun pelatihan di tempat kerja (“on job training”). Namun pelatihan tersebut juga mempunyai kendala dalam hal keterbatasan anggaran pelatihan dan belum tersedianya jabatan fungsional dalam bidang Sistem Informasi Geografi.

2. Jaminan Perangkat Keras dan Lunak.

Perkembangan teknologi processor memacu perkembangan perangkat lunak dan peralatan lainnya. Hal ini mengakibatkan kecenderungan rendahnya usia (“life time”) perangkat keras dan lunak. Sebagai gambaran, Badan Pertanahan Nasional mempunyai sekitar 24 unit Image Processing System (ERDAS versi 7.5) yang dukungan suku cadang perangkat kerasnya saat ini langka dijumpai di pasar. Sedangkan versi baru yang lebih canggih sudah tersedia, sehingga pemanfaatanya memerlukan penyesuaian-penyesuaian yang tentu memerlukan biaya. Hal ini mendorong terjadinya biaya penyusutan yang tidak rasional dan di luar perkiraan saat pemilihan sistem tersebut.

3. Jaminan pasokan material (“consumable material”).

Penyediaan kertas, tinta, media penyimpanan sampai saat ini sebagian besar masih tergantung dari import. Hal ini menimbulkan kenaikan harga yang di luar perkiraan dari penyediaan anggaran pemerintah.

4. Pemeliharaan sistem.

Sementara kegiatan proyek masih berjalan, maka pemeliharaan sistem masih dapat dianggarkan dalam proyek tersebut. Dalam jangka panjang, perawatan sistem tidak dapat bersandar dari dana rutin. Salah satu cara yang dapat diharapkan adalah memasarkan keluaran sistem tersebut yang pendapatannya paling tidak mampu menjamin biaya operasionalnya.

PENUTUP

Pemanfaatan Teknologi Sistem Informasi Geografi di lingkungan Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional melalui Otomatisasi Perencanaan Spasial Penggunaan Tanah mempunyai nilai yang strategis dalam mendukung tugas dan fungsinya serta mampu mengimplementasikan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Prosedur otomatisasi menuntut profesionalisme yang menghadapi tantangan seperti penyediaan sumberdaya manusia, jaminan perangkat keras/lunak, pasokan bahan dan kelangsungan sistem perawatan. Mengingat kompleksnya masalah perkotaan, maka pemanfaatan teknologi komputerisasi merupakan kebutuhan yang mendesak dan memerlukan koordinasi yang baik antara institusi yang bergerak dalam bidang Sistem Informasi Geografi. Salah satu upaya untuk mewujudkan koordinasi adalah memberlakukan format peta dasar yang sama, struktur file yang baku, klasifikasi data baku dan lainnya yang memungkinkan proses tukar menukar data digital. Upaya untuk memberlakukan baku tarif informasi merupakan kebutuhan yang mendesak dalam rangka pemasyarakatan hasil keluaran.

——————————————————————————–

DAFTAR BACAAN

________________, Kalibrasi Model Prediksi Harga Tanah di DKI Jakarta, Kerjasama Kanwil BPN DKI Jakarta dengan Universitas Indonesia. Jakarta, 1995.

________________, Prosedur Otomatisasi untuk Perencanaan Spasial Penggunaan Tanah dan Penampilan Kartografi. Direktorat Penatagunaan Tanah, Badan Pertanahan Nasional, 1997.

Burrough, P., Principles of Geographical Information Systems for Land Resources Assessment. Clarendon Press, Oxford, 1986.

Maurice A. Unger, Principles & Practice Real Estate, Fourth Edition. South-Western Publishing Co., New York, USA, 1974.

2 Sep 2007

ogie

KEARIFAN LOKAL DALAM SASTRA BUGIS KLASIKSep 2, '07 6:42 PM
for everyone
Oleh
Mashadi Said

Fakultas Sastra, Universitas Gunadarma, Jakarta
Jalan Margonda Raya No. 100 Depok
mashadi@staff.gunadarma.ac.id


Pendahuluan

Kearifan lokal, atau dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat "local wisdom" atau pengetahuan setempat "local knowledge" atau kecerdasan setempat "local genious, merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat kepermukaan sebagai bentuk jati diri bangsa. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, dalam sambutannya pada Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara di Baubau, tanggal 5 Agustus 2005 mengatakan, kearifan lokal yang terdapat di berbagai daerah di Nusantara, seharusnya diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan norma untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.

Kearifan budaya adalah energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berperadaban; hidup damai; hidup rukun; hidup bermoral; hidup saling asih, asah, dan asuh; hidup dalam keragaman; hidup penuh maaf dan pengertia;. hidup toleran dan jembar hati; hidup harmoni dengan lingkungan; hidup dengan orientasi nilai-nilai yang membawa pada pencerahan; hidup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan berdasarkan mozaik nalar kolektif sendiri. Kearifan seperti itu tumbuh dari dalam lubuk hati masyarakat sendiri. Itulah bagian terdalam dari kearifan kultur lokal (Nashir, 2003).

Kayam (1998) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah hasil upaya yang terus-menerus dari manusia dalam ikatan masyarakat dalam menciptakan prasarana dan sarana yang diperlukan untuk menjawab tantangan kehidupannya. Dari segi kognitif, kebudayaan tidak hanya mencakup hal-hal yang telah dan sedang dilakukan atau diciptakan manusia, melainkan juga hal-hal yang masih merupakan cita-cita atau yang masih harus diwujudkan, termasuk norma, pandangan hidup atau sistem nilai. Cita-cita itu dapat diwujudkan melalui proses demokratisasi
kebudayaan dan proses selektif terkontrol, yaitu suatu proses yang memiliki substansi kebebasan dan otonomi sekaligus terkontrol dengan nilai-nilai rujukan yang fundamental dan telah teruji dalam perjalanan zaman.

Fokus utama sajian ini adalah kearifan lokal dalam sastra Bugis klasik. Sastra Bugis klasik meliputi Sure Galigo, Lontarak, Paseng/Pappaseng Toriolota/ Ungkapan, dan Elong/syair. Sastra Bugis klasik, seperti Galigo (yang dikenal sebagai epik terpanjang di dunia), Lontarak, Paseng(pesan-Pesan), dan syair mengandung kearifan masih sangat relevan dengan perkembangan zaman. Kearifan lokal yang menjadi fokus utama meliputi bawaan hati yang baik, konsep pemerintahan yang baik (good governance), demokrasi, motivasi berprestasi, kesetiakawanan sosial, kepatutan, dan penegakan hukum. Kearifan itu memiliki kedudukan yang kuat dalam kepustakaan Bugis dan masih sesuai dengan perkembangan zaman.

Bawaan Hati yang Baik (Ati Mapaccing)

Dalam bahasa Bugis, ati mapaccing (bawaan hati yang baik) berarti nia' madeceng (niat baik), nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan dari kata nia' maja' (niat jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran bengkok). Dalam berbagai konteks, kata bawaan hati, niat atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati, bersih hati atau angan-angan dan pikiran yang baik.

Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan sesuatu demi tegaknya harkat dan martabat manusia. Bawaan hati yang baik mengandung tiga makna, yaitu a) menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan c) mengatur emosi-emosi. Pertama, manusia menyucikan dan memurnikan hatinya dari segala nafsu- nafsu kotor, dengki, iri hati, dan kepalsuan-kepalsuan. Niat suci atau bawaan hati yang baik diasosiasikan dengan tameng (pagar) yang dapat menjaga manusia dari serangan sifat-sifat tercela. Ia bagai permata bercahaya yang dapat menerangi dan menjadi hiasan yang sangat berharga. Ia bagai air jernih yang belum tercemar oleh noda-noda atau polusi. Segala macam hal yang dapat menodai kesucian itu harus dihindarkan dari hati, sehingga baik perkataan maupun perbuatan dapat
terkendali dengan baik. Dalam Lontara' disebutkan:

Dua kuala sappo, unganna panasae, belo kanukue
(Dua kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku.)

Dalam bahasa Bugis, bunga nangka disebut lempu yang berasosiasi dengan kata jujur, sedangkan hiasan kuku dalam bahasa Bugis disebut pacci yang kalau ditulis dalam aksara Lontara' dapat dibaca paccing yang berarti suci atau bersih. Bagi manusia Bugis, segala macam perbuatan harus dimulai dengan niat suci karena tanpa niat suci (baik), tindakan manusia tidak mendapatkan ridha dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Seseorang yang mempunyai bawaan hati yang baik tidak akan pernah goyah dalam pendiriannya yang benar karena penilainnya jernih. Demikian pula, ia sanggup melihat kewajiban dan tanggung jawabnya dengan lebih tepat.

Kedua, manusia sanggup untuk mengejar apa yang memang direncanakannya, tanpa dibelokkan ke kiri dan ke kanan. Lontara' menyebutkan:

Atutuiwi anngolona atimmu; aja' muammanasaianngi ri ja'e padammu rupa tau nasaba' mattentui iko matti' nareweki ja'na apa' riturungenngi ritu gau' madecennge riati maja'e nade'sa nariturungeng ati madecennge ri gau' maja'e. Naiya tau maja' kaleng atie lettu' rimonri ja'na.

(Jagalah arah hatimu; jangan menghajatkan yang buruk kepada sesamamu manusia, sebab pasti engkau kelak akan menerima akibatnya, karena perbuatan baik terpengaruh oleh perbuatan buruk. Orang yang beritikad buruk akibatnya akan sampai pada keturunannya keburukan itu.)

Kutipan Lontara' di atas menitikberatkan pentingnya seorang individu untuk memelihara arah hatinya. Manusia dituntut untuk selalu berniat baik kepada sesama. Memelihara hati untuk selalu berhati bersih kepada sesama manusia akan menuntun individu tersebut memetik buah kebaikan. Sebaliknya, individu yang berhati kotor, yaitu menghendaki keburukan terhadap sesama manusia, justru akan menerima akibat buruknya. Karena itu, tidak ada alasan bagi seorang individu untuk memikirkan hal-hal buruk terhadap sesama manusia. Dengan kata
lain, agar setiap individu dapat memetik keberuntungan atau keberhasilan dalam hidup sesuai dengan cita-citanya, ia terlebih dahulu harus memelihara hatinya dari penyimpangan-penyimpangan. Jika menginginkan orang berbuat baik kepadanya, ia harus terlebih dahulu berniat dan berbuat baik kepada orang tersebut.

Ketiga, manusia tidak membiarkan dirinya digerakkan oleh nafsu-nafsu, emosi-emosi, perasaan-perasaan, kecondongan-kecondongan, melainkan diatur suatu pedoman (toddo), yang memungkinkannya untuk menegakkan harkat dan martabat manusia sesuai dengan kodratnya. Dengan demikian ia tidak diombang-ambingkan oleh segala macam emosi, nafsu dan perasaan dangkal. Jadi, pengembangan sikap-sikap itu membuat kepribadian manusia menjadi lebih kuat, lebih otonom dan lebih mampu untuk menjalankan tanggung jawabnya. Dalam Lontara' Latoa ditekankan bahwa bawaan hati yang baik menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik pula, yang sekaligus menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Dalam memperlakukan diri sebagai manusia, bawaan hati memegang peranan yang amat penting. Bawaan hati yang baik mewujudkan kata-kata dan perbuatan yang benar yang sekaligus dapat menimbulkan kewibawaan dan apa yang diucapkan akan tepat pada sasarannya:

Makkedatopi Arung Bila, eppa tanrana tomadeceng kalawing ati, seuani, passu'i ada napatuju, maduanna, matuoi ada nasitinaja, matellunna duppai ada napasau, maeppa'na, moloi ada napadapi.

(Berkata pula Arung Bila, ada empat tanda orang baik bawaan hatinya. Pertama, mengucapkan kata yang benar. Kedua, menyebutkan kata yang sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang berwibawa. Keempat, melaksanakan kata dan mencapai sasarannya.)

Di samping bawaan hati yang baik sebagai motor pendorong dalam manifestasi perbuatan manusia dalam dunia realitas, terdapat lagi suatu hal dalam diri manusia yang harus dipelihara, yaitu pikiran. Bagi manusia Bugis, hati dan pikiran yang baik merupakan syarat untuk menghasilkan kebaikan dalam kehidupan.

Konsep Pemerintahan yang Baik (good governance)

Istilah good governance tak bisa dilepaskan dari konteks perbincangan mengenai politik dan paradigma pembangunan yang berkembang di dunia. Bila dilacak agak teliti, penggunaan istilah ini belum lebih dari dua dekade. Diduga, good governance pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 1991 dalam sebuah resolusi The Council of the European Community yang membahas Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Pembangunan.. Di dalam resolusi itu disebutkan, diperlukan empat prasyarat lain untuk dapat mewujudkan Pembangunan yang berkelanjutan,yaitu mendorong penghormatan atas hak asasi manusia, mempromosikan nilai demokrasi, mereduksi budget pengeluaran militer yang berlebihan dan mewujudkan good governance. Sejak saat itu, good governance mulai diperbincangkan dan diakomodasi dalam berbagai konvensi dan resolusi yang berkaitan dengan pembangunan, baik dalam perbincangan pembangunan di UNDP maupun di Lome Convention, Bantuan Pembangunan yang bersifat Multilateral dan Bilateral.

Istilah good governance telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (Effendi, 2005).

Dalam kepustakaan Bugis, untuk terwujudnya permerintahan yang baik, seorang pemimpin dituntut memiliki 4 kualitas yang tak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Keempat kualitas itu terungkap dalam ungkapan Bugis:

Maccai na Malempu;
Waraniwi na Magetteng

(Cendekia lagi Jujur, Berani lagi Teguh dalam Pendirian.)

Bila ungkapan di atas diurai maka ada empat karakteristik seorang pemimpin yang diangap dapat memimpin suatu negeri, yaitu: cendekia, jujur, berani, dan teguh dalam pendirian. Ungkapan itu bermakna bahwa kepandaian saja tidak cukup. Kepandaian haruslah disertai dengan kejujuran, karena banyak orang pandai menggunakan kepandaiannya membodohi orang lain. Karerna itu, kepandaian haruslah disetrtai dengan kejujuran. Selanjutnya, keberanian saja tidak cukup. Keberanian haruslah disertai dengan keteguhan dalam pendirian. Orang yang berani tetapi tidak cendekia dan teguh dalam pendirian dapat terjerumus dalam kenekadan.

Syarat terselenggaranya pemerintahan negeri dengan baik terungkap dalam Lontarak bahwa pemimpin negeri haruslah:

1. Jujur terhadap Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan sesamanya manusia.
2. Takut kepada Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan menghormati rakyatnya dan orang asing serta tidak membeda-bedakan rakyatnya.
3. Mampu memperjuangkan kebaikan negerinya agar berkembang biak rakyatnya, dan mampu menjamin tidak terjadinya perselisihan antara pejabat kerajaan dan rakyat.
4. Mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya.
5. Berani dan tegas, tidak gentar hatinya mendapat berita buruk (kritikan) dan berita baik (tidak mudah terbuai oleh sanjungan).
6. Mampu mempersatukan rakyatnya beserta para pejabat kerajaan.
7. Berwibawa terhadap para pejabat dan pembantu-pembantunya.
8. Jujur dalam segala keputusannya.

Kemudian, I Mangada'cina Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang membuat pesan yang isinya bahwa ada lima sebab yang menyebabkan negeri itu rusak, yaitu:

1. Kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati.
2. Kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu negara besar.
3. Kalau para hakim dan para pejabat kerajaan makan sogok.
4. Kalau terlampau banyak kejadian-kejadian besar dalam suatu negara.
5. Kalau raja tidak menyayangi rakyatnya.

Demokrasi (Amaradekangeng)

Kata amaradekangeng berasal dari kata maradeka yang berarti merdeka atau bebas. Pengertian tentang kemerdekaan ditegaskan dalam Lontarak sebagai berikut.

Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai:
Seuani, tenrilawai ri olona.
Maduanna, tenriangkai' riada-adanna.
Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa.

(Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan.)

Demokrasi sebagai bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara terungkap dalam sastra Bugis sebagai berikut.

Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.

(Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat, Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak)

Dalam ungkapan itu, jelas tergambar bahwa kedudukan rakyat amat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat berarti segala-galanya bagi negara. Raja atau penguasa hanyalah merupakan segelintir manusia yang diberi kepercayaan untuk mengurus administrasi,
keamanaan, dan pelaksanaan pemerintahan negara (Said, 1998). Konsep di atas sejalan dengan konsep demokrasi yang dianut saat ini yang mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dari kutipan itu, jelas tergambar bahwa kekuatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan raja. Jika hal ini dihubungkan dengan teori demokrasi Rousseau tentang volonte generale atau kehenak umum dan volonte de tous atau kehendak khusus, jelas tergambar bahwa teori Rousseau berkesesuaian dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di Tanah Bugis yaitu apabila dua kepentingan (antara penguasa dan rakyat) bertabrakan, kepentingan yang harus dimenangkan adalah kepentingan rakyat (umum).

Dalam menjalankan pemerintahan, raja selalu berusaha untuk bertindak secara ekstra hati-hati. Sesuatu yang akan dibebankan kepada rakyat haruslah terlebih dahulu dipertimbangkan. Artinya, acuan utama dari setiap tindakan adalah rakyat. Hal tersebut tertuang dalam Getteng Bicara (undang-undang) sebagai berikut. "Takaranku kupakai menakar, timbanganku kupakai menimbang, yang rendah saya tempatkan di bawah, yang tengah saya tempatkan di tengah, yang tinggi saya tempatkan di atas."

Ketetapan hukum yang tergambar dalam getteng bicara di tanah Bugis menunjukkan bahwa raja tidak akan memutuskan suatu kebijakan bila raja itu sendiri tidak merasa nyaman. Raja menjadikan dirinya sebagai ukuran dan selalu berusaha berbuat sepatutnya. Dari argumentasi itu, jelas tergambar bahwa negara adalah sepenuhnya milik rakyat dan bukan milik raja. Raja tidak dapat berbuat sekehendak hatinya kepada negara yang menjadi milik dari rakyat itu. Raja sama sekali tidak dapat membuat peraturan dengan seenaknya, terutama menyangkut kepentingan dirinya atau keluarganya. Semua peraturan yang akan ditetapkan oleh raja harus melalui persetujuan dari kalangan wakil rakyat yang telah mendapatkan kepercayaan dari
rakyat. Jika raja melanggar ketentuan itu, berarti raja telah melanggar kedaulatan rakyat.

Adat menjamin hak dan protes rakyat dengan lima cara sebagai berikut.
1. Mannganro ri ade', memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti kemarau panjang karena dimungkinkan sebagai akibat kesalahan pemerintah.

2. Mapputane', menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja.

3. Mallimpo-ade', protes yang mendesak adat karena perbuatan sewenang-wenang raja, dan karena usaha melalui mapputane' gagal. Orang banyak, tetapi tanpa perlengkapan senjata mengadakan pertemuan dengan para pejabat negara dan tidak meninggalkan tempat itu kecuali
permasalahannya selesai.

4. Mabbarata, protes keras rakyat atau kaum terhadap raja, karena secara prinsipial masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan panngadereng oleh raja, keluarga raja, atau pejabat kerajaan. Masyarakat atau kaum berkumpul di balai pertemuan (baruga) dan mendesak agar masalahnya segera ditangani. Kalau tidak, rakyat atau kaum bisa mengamuk yang bisa berakibat sangat fatal pada keadaan negara.

5. Mallekke' dapureng, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan karena sudah tidak mampu melihat kesewenang-wenangan di dalam negerinya dan protes-protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: "Kamilah yang memecat raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari kekuasaannya".(Mattulada, 1985)

Hak koreksi rakyat terhadap perbuatan sewenang-wenang pemimpin atau pejabat negara, merupakan bukti bahwa kehidupan bernegara manusia Bugis menekankan unsur "demokrasi".

Penegakan Hukum

Bagi manusia Bugis, menegakkan hukum terhadap suatu pelanggaran merupakan kewajiban. Dalam konsep Siri' (malu, harga diri) terungkap bahwa manusia Bugis yang berbuat semaunya dan tidak lagi mempedulikan aturan-aturan adat (etika panngadereng atau peradaban) dianggap sebagai manusia yang tidak mempunyai harga diri. Siri' atau harga diri merupakan landasan bagi "pemimpin" untuk senantiasa menegakkan hukum tanpa pilih kasih. Pemimpin yang tidak mampu menegakkan hukum dianggap pemimpin lembek atau banci. Seseorang yang tidak mempunyai Siri' diumpamakan sebagai bangkai yang berjalan. Dalam ungkapan Bugis disebutkan: Siri' emmi to riaseng tau (Hanya karena Siri'-lah kita dinamakan manusia). Itulah sebabnya mengapa para orang tua Bugis menjadikan Siri' sebagai hal yang amat penting dalam nasihat-nasihat, sebagaimana dituturkan oleh Muhammad Said sebagai berikut.

Taro-taroi alemu siri'
Narekko de' siri'mu inrekko siri'

(Perlengkapilah dirimu dengan siri', Kalau tidak ada siri'-mu, pinjamlah siri'.)

Dalam dunia realitas, sering dijumpai seorang manusia Bugis mengorbankan sanak keluarga yang paling dicintainya demi mempertahankan harga diri dan martabatnya di tengah masyarakat. Dalam sejarah disebutkan bahwa di Sidenreng Rappang pada abad XVI, La Pagala Nene Mallomo, seorang hakim (pabbicara), dan murid dari La Taddampare, menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri yang amat dicintainya karena telah terbukti mengambil luku orang lain tanpa seizin dengan pemiliknya. Tentu saja kejadian itu telah mencoreng muka ayahnya sendiri yang dikenal sebagai hakim yang jujur. Ketika ditanya mengapa ia memidana mati putranya sendiri dan apakah dia menilai sepotong kayu sama dengan jiwa seorang manusia, beliau menjawab:

"Ade'e temmakeana' temmakke eppo"

"Hukum tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu."

Pidana mati itu dilakukan semata-mata untuk mempertahankan harga dirinya sebagai hakim yang jujur di tengah-tengah masyarakatnya. Sekiranya ia memberikan pengampunan kepada putranya sendiri, tentulah ia akan menanggung malu yang sangat dalam karena akan dicibir oleh masyarakat sekitarnya, dan wibawanya sebagai hakim yang jujur akan hilang seketika. Bagi masyarakat Bugis, falsafah "taro ada taro gau" (satunya kata dengan perbuatan) adalah suatu keharusan. Manusia yang tidak bisa menyerasikan antara perkataan dan perbuatannya akan mendapat gelar sebagai manusia "munafik" (munape), suatu gelar yang sangat dihindari oleh
manusia Bugis.

Adat yang telah merupakan jiwa dan semangat manusia Bugis berlaku umum dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Adat atau panngadereng tidak mengenal kedudukan, kelas sosial, derajat kepangkatan, status sosial ekonomi, dan lain-lain, dalam menjatuhkan sanksi atau hukuman adat terhadap manusia-manusia yang telah melakukan pelanggaran. Dari mana pun asal manusia itu, apakah dia seorang raja, putra mahkota, orang kaya, bangsawan, sama sekali tidak mempunyai hak istimewa dalam kehidupan panngadereng masyarakat Bugis. Kedudukan kelompok elite dan masyarakat biasa diperlakukan sama dalam kehidupan masyarakat. Faktor inilah yang telah menempatkan adat pada tempat yang teratas dalam diri manusia Bugis: "Ade'temmakiana', temmakieppo" (adat tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu).

Data tentang bagaimana adat diperlakukan kepada semua kelompok masyarakat, berikut beberapa data historis yang dicatat oleh Abidin sebagai berikut.

1. Pada waktu Lamanussa Toakkarangeng menjadi Datu Soppeng, orang-orang Soppeng pernah hampir kelaparan karena kemarau panjang. Beliau menyelidiki sebab-sebab bencana kelaparan itu, tetapi tak ada seorang pejabat kerajaan pun yang melakukan perbuatan sewenang- wenang. Setelah beliau merenung, beliau mengingat bahwa beliau pernah memungut suatu barang di sawah seorang penduduk dan disimpannya di rumahnya sendiri. Perbuatan beliau inilah yang menurutnya menyebabkan mala petaka itu, pikir beliau. Beliau mengambil keputusan untuk menjatuhkan hukuman kepada dirinya sendiri karena tidak ada orang pun yang berani menjatuhkan hukuman kepada diri sang Datu. Hukuman yang dijatuhkan kepada dirinya sendiri adalah berupa denda, yaitu beliau memotong kerbau dan dagingnya dibagikan kepada rakyat. Di hadapan rakyatnya, beliau menyatakan diri bersalah karena telah memungut suatu barang dari sawah seseorang dan menyimpannya sendiri. Beliau mengumumkan barang tersebut di tengah pesta tudang sipulung (duduk bersama), tetapi tak seorang pun yang mengaku telah kehilangan
sesuatu.

2. Ketika La Pabbelle' putra Arung Matoa Wajo yang X La Pakoko Topabbele' memperkosa wanita di kampung Totinco, ia dijatuhi hukuman mati oleh ayahnya sendiri.

3. Raja Bone yang bernama La Ica' dibunuh oleh orang-orang Bone karena kekejamannya.

4. Raja Bone yang bernama La Ulio "Bote'" (Sigendut) meninggal diamuk di kampung Utterung, karena dianggap berbuat sewenang-wenang kepada rakyat.

5. Ketika Toangkone Ranreng Bettempola pada abad XV dibuktikan menculik wanita yang bernama We Neba untuk diserahkan kepada temannya Opu Rajeng dari Luwu, maka ia dijatuhi pidana dipecat dengan tidak hormat lalu diusir untuk seumur hidup.

6. La Temmasonge putra raja Bone La Patau Matanna Tikka pada tahun 1710 dipidana "ripaoppangi tana" (diusir keluar Bone dan dibuang ke Buton) karena membunuh Arung Tiboyong, seorang anggota dewan pemangku adat Bone. Raja Luwu menyingkirkan putrinya (yang terserang penyakit kulit yang menular) dari istina karena atas permintaan rakyat.

Motivasi berprestasi (Reso)

Dalam hal motivasi berprestasi, terungkap dalam ungkapan Bugis dengan istilah reso (usaha keras). Untuk mencapai prestasi reso merupakan syarat utama. Hal ini menunjukkan bahwa dalam perjuangan untuk mencapai suatu keberhasilan, seseorang haruslah pantang menyerah; ia harus tampil sebagai pemenang. Ungkapan Lontarak berikut mengisyaratkan betapa pentingnya melakukan gerak cepat agar orang lain tidak mendahului kita dalam bertindak:

Aja' mumaelo' ribetta makkalla ri cappa alletennge
(Janganlah mau didahului menginjakkan kaki di ujung titian.)

Ungkapan di atas memberi pelajaran bahwa dalam hidup ini terdapat persaingan yang cukup ketat dan untuk memenangkan persaingan itu, semua kemampuan yang ada harus dimanfaatkan. Titian yang hanya dapat dilalui oleh seorang saja dan siapa yang terdahulu menginjakkan kaki pada titian itu, berarti dialah yang berhak meniti terlebih dahulu. Ini berarti bahwa bertindak cepat dengan penuh keberanian, walaupun mengandung risiko besar merupakan syarat mutlak untuk menjadi pemenang. Namun demikian, tidak ada keberuntungan besar tanpa perbuatan besar dan tidak ada perbuatan besar tanpa risiko yang
besar. Dalam sebuah ungkapan Lontarak ditekankan:

Resopa natinulu, natemmanginngi malomo naletei pammase Dewata Seuwaee.
(Hanya dengan kerja keras dan ketekunan, sering menjadi titian rahmat Ilahi.)

Ungkapan itu memberi pelajaran bahwa untuk memperoleh keberhasilan, seseorang tidak hanya berdo'a, tetapi harus bekerja keras dan tekun.

Ambo Enre (1992) mengutip sebuah ungkapan pesan Bugis bagi perantau-perantau sebelum meninggalkan kampung halaman sebagai berikut.

Akkellu peppeko mulao,
a'bulu rompeko murewe'.

(Bergundul licinlah engkau pergi, berbulu suaklah engkau kembali).

Pesan itu diperuntukkan kepada para perantau agar terdorong bekerja keras di negeri rantauannya. Serta mempunyai tekad yang kuat untuk tidak kembali ke kampung halamannya sebelum berhasil. Dalam kaitannya dengan usaha, waktu atau kesempatan merupakan
salah satu faktor penentu dalam meraih kemenangan (Tang, 2007). Hal ini ditegaskan dalam ungkapan Bugis disebutkan:

Onroko mammatu-matu napole marakkae naia makkalu
(Tinggallah engkau bermalas-malas hingga kelak datang yang gesit lalu menguasai)

Selain pentingnya menghargai waktu/kesempatan, pentingnya seseorang menghindari perbuatan memetik keuntungan dari hasil jerih payah orang lain, tergambar dalam ungkapan berikut.

Temmasiri kajompie, tania ttaro rampingeng, naia makkalu.
(Tak malu nian si Buncis, bukan ia menyimpan penyanggah, ia yang memanjat)

Ungkapan itu menganjurkan bahwa untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, seseorang dituntut bekerja keras, tidak menyandarkan harapannya kepada orang lain.

Kesetiakawanan Sosial (assimellereng)

Konsep assimellereng mengandung makna kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lain, antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat merasakan penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam keadaan menderita, dan cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang, dikenal dengan konsep "sipa'depu-repu" (saling memelihara). Sebaliknya, orang yang tidak mempedulikan
kesulitan sanak keluarganya, tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut bette' perru.
Dalam kehidupan sehari-hari, manifestasi kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam sebuah ungkapan Bugis:

"tejjali tettappere , banna mase-mase".

Ungkapan tersebut biasanya diucapkan ketika seorang tuan rumah kedatangan tamu. Maksunya adalah "kami tidak mempunyai apa-apa untuk kami suguhkan kepada tuan. Kami tidak mempunyai permadani atau sofa yang empuk untuk tuan duduki. Yang kami miliki adalah kasih sayang.

Lontarak sangat menganjurkan manusia memiliki perasaan kemanusiaan yang tinggi, rela berkorban menghormati hak-hak kemanusiaan seseorang, demi kesetiakawanan atau solidaritas antara sesama manusia, berusaha membantu orang, suka menolong orang menderita,
berkorban demi meringankan penderitaan dan kepedihan orang lain dan berusaha pula untuk membagi kepedihan itu ke dalam dirinya. Dalam Lontarak disebutkan:

Iya padecengi assiajingeng:
- Sianrasa-rasannge nasiammase-maseie;
- sipakario-rio;
- Tessicirinnaiannge ri sitinajae;
- Sipakainge' ri gau' patujue;
- Siaddappengeng pulanae.

(Yang memperbaiki hubungan kekeluargaan yaitu:
- Sependeritaan dan kasih-mengasihi;
- Gembira menggembirakan;
- Rela merelakan harta benda dalam batas-batas yang wajar;
- Ingat memperingati dalam hal-hal yang benar;
- Selalu memaafkan.)

Dorongan perasaan solidaritas untuk membela, menegakkan, memperjuangkan harkat kemanusiaan orang lain atau perasaan senasib sepenanggungan di antara keluarga, kerabat, dan masyarakat dilukiskan dalam ungkapan-ungkapan Lontarak sebagai berikut

Eppai rupanna padecengi asseajingeng:
- Sialurusennge' siamaseng masseajing.
- Siadampengeng pulanae masseajing.
- Tessicirinnaiannge warangparang masseajing, ri sesena gau' sitinajae.
- Sipakainge' pulannae masseajing ri sesena gau' patujue sibawa winru' madeceng.

( Empat hal yang mengeratkan hubungan kekeluargaan:
- Senantiasa kasih mengasihi sekeluarga.
- Maaf memaafkan sekeluarga.
- Rela merelakan sebagian harta benda sekeluarga dalam batas-batas yang layak.
- Ingat memperingati sekeluarga demi kebenaran dan tujuan yang baik.)

Kepatutan (Mappasitinaja)

Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang berarti pantas, wajar atau patut. Mappasitinaja berarti berkata atau berbuat patut atau memperlakukan seseorang secara wajar. Definisi kewajaran diungkapkan oleh cendekiawan Luwu sebagaimana dikutip oleh Ambo Enre (1992)
sebagai berikut.

Ri pariajanngi ri ajannge, ri parialau'i alau'e, ri parimanianngi
maniannge, ri pariase'i ri ase'e, ri pariawai ri awae.

(Ditempatkan di Barat yang di Barat, ditempatkan di Timur yang di Timur, ditempatkan di Selatan yang di Selatan, ditempatkan di atas yang di atas, ditempatkan di bawah yang di bawah.)

Dari ungkapan itu, tergambar bahwa seseorang dikatakan bertindak patut atau wajar bila ia mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Seseorang yang bertindak wajar berarti ia mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Ia tidak menyerakahi hak-hak orang lain, melainkan memahami hak-haknya sendiri. Di samping itu, ia pula dapat memperlakukan orang lain pada tempatnya. Ia sadar bahwa orang lain mempunyai hak-hak yang patut dihormati.

Perbuatan wajar atau patut, dalam bahasa Bugis biasa juga disebut mappasikoa. Seorang yang berbuat wajar dalam arti mappasikoa berarti ia merasa cukup atas sesuatu yang dimilikinya. Ia bertindak sederhana. Dicontohkan oleh Rahim (1985), tentang sikap wajar Puang Rimaggalatung. Puang Rimaggalatung pernah berkali-kali menolak tawaran rakyat Wajo untuk diangkat menjadi Arung Matoa Wajo atas kematian Batara Wajo III yang bernama La Pateddungi Tosamallangi. Bukannya beliau tidak mampu memangku jabatan yang ditawarkan
kepadanya, tetapi ia sadar bahwa jabatan itu sungguh sulit untuk diembannya. Namun, karena Adat (para wakil rakyat) dan rakyat Wajo sendiri merasa bahwa beliau pantas memimpin mereka, akhirnya tawaran itu diterima.

Aja' muangoai onrong, aja' to muacinnai tanre tudangeng, de'tu mullei padecengi tana. Risappa'po muompo, ri jello'po muompo, ri jello'po muakkengau.

(Jangan serakahi kedudukan, jangan pula terlalu menginginkan kedudukan tinggi, jangan sampai kamu tidak mampu memperbaiki negeri. Bila dicari barulah kamu muncul, bila ditunjuk barulah kamu mengia.)

Ungkapan lain yang menganjurkan manusia berbuat wajar adalah sebagai berikut.

Duampuangenngi ritu gau sisappa nasilolongeng, gau madecennge enrennge sitinajae. Iapa ritu namadeceng narekko silolongenngi duampuangennge. Naia lolongenna ritu:

a. narekko ripabbiasai aleta mangkau madeceng, mauni engkamuna maperri ri pogaumuiritu.
b. Pakatunai alemu ri sitinajae
c. Saroko mase ri sitinajqe
d. Moloi roppo-roppo narewe
e. Moloi laleng namatike nasanresenngi ri Dewata Seuwaee
f. Akkareso patuju.

(Dua hal saling mencari lalu bersua, yakni perbuatan baik dan yang pantas. Barulah baik bila keduanya berpadu. Cara memadukannya ialah:
a. Membiasakan diri berbuat baik meskipun sulit dilakukan.
b. Rendahkanlah dirimu sepantasnya.
c. Ambillah hati orang sepantasnya
d. Menghadapi semak-semak ia surut langkah
e. Melalui jalan ia berhati-hati dan menyandarkan diri kepada Tuhan
f. Berusahalah dengan benar.)

Sebaliknya, lawan dari kata patut adalah berlebih-lebihan dan serakah. Watak serakah diawali keinginan untuk menang sendiri. Keinginan untuk menang sendiri dapat menghasilkan pertentangan-pertentangan dan menutup kemungkinan untuk mendapatkan restu dari pihak lain. Manusia yang berbuat serakah, justru akan menghancurkan dirinya sendiri karena orang lain akan menjauhinya. Dan apabila hati manusia dipenuhi sifat serakah, maka tiada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari manusia itu. Dalam Lontarak disebutkan:

Cecceng ponna cannga tenngana sapu ripale cappa'na
(Serakah awalnya, menang sendiri pertengahannya, kehilangan sama sekali akhirnya.)

Jadi, Lontarak amat menekankan pentingnya manusia berbuat secara wajar, seperti dapat disimak dalam ungkapan:

Aja' mugaukenngi padammu tau ri gau' tessitinajae
(Jangan engkau melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap sesamamu manusia)

Selanjutnya, Lontarak memperingatkan bahwa sifat serakah atau tamak, sewenang-wenang, curang, perbuatan tega atau tidak menaruh belas kasihan kepada orang lain dapat menghancurkan nilai kepatutan dan dapat menimbulkan kerusakan dalam negara. Pertama, keserahan atau ketamakan, menghilangkan rasa malu sehingga mengambil hak-hak orang lain bukan lagi hal yang tabu. Karena, orang yang bersifat serakah atau tamak tidak pernah merasa cukup sehingga apa yang dimiliki selalu dianggap kurang. Kedua, kekerasan akan menyebabkan melenyapkan kasih sayang di dalam negeri. Artinya, rakyat kecil harus mendapat perlindungan demi tegaknya suatu negara, tetapi kalau pihak yang berkuasa berbuat sewenang-wenang (hanya unjuk kekuatan) berarti kasih sayangnya kepada masyarakat akan hilang yang sekaligus memperlemah kedaulatan rakyat. Ketiga, kecurangan akan memutuskan hubungan
keluarga. Artinya, orang yang curang tidak pernah merasa puas atas hak-haknya sendiri. Ia selalu berpikir untuk memiliki hak-hak orang lain. Orang seperti itu, akan menemukan kesulitan dalam hidupnya karena tidak ada orang yang akan mempercayainya. Keempat, perbuatan tega terhadap sesama manusia, melenyapkan kebenaran di dalam negeri. Artinya, para pejabat negeri dituntut untuk berbuat adil kepada rakyatnya. Berbuat tidak adil berarti kebenaran dilecehkan dan bila kebenaran dilecehkan berarti kehancuran bagi negeri. Karena itu, agar negara selamat dan berhasil, para pemimpin haruslah berbekal kejujuran disertai dengan kepatutan.

Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal dalam kepustakaan Bugis masih sangat relevan dengan perkembangan zaman. Karena itu, kearifan lokal sebagai jati diri bangsa perlu direvitalisasi, khususnya bagi generasi muda dalam percaturan global saat dan di masa datang. Dengan demikian, identitas sebagai bangsa baik secara fisik maupun non fisik akan tetap terjaga.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman H. 2007. Pelestarian Kearifan Lokal Melalui Pewarisan Bahasa Bugis. Makalah disajikan dalam Kongres I Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan, Makassar, 22-25 Juli.

Ambo Enre, Fachruddin. 1992. Beberapa Nilai Sosial Budaya dalam Ungkapan dan Sastra Bugis. Pidato Pengukuhan Guru Besar. (dalam Jurnal PINISI, Vol. 1). FPBS IKIP Ujung Pandang.

Effendi, Sofian. 2005. Membangun Budaya Birokrasi Untuk Good Governance. (Online).
http://lib.ugm.ac.id/data/pubdata/sofiane/budayabirokrasi.pdf. Diakses tanggal 30 Juli 2007.

Hakim, Zainuddin. 2007. Reaktulisasi Peran Sastra Daerah dalam Pewarisan Nilai-Nilai Budaya. Makalah disajikan dalam Kongres I Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan, Makassar, 22-25 Juli.

Kayam, U. 1988. Memahami Roman Indonesia Modern sebagai Pencerminan dan Ekspresi Masyarakat dan Budaya Indonesia: Suatu Refleksi. Dalam Esten, Mursal (Ed.) 1988. Menjelang Teori Kritik Susastra Indonesia yang Relevan (hlm. 118-131). Bandung: Penerbit Angkasa.

Mattulada. 1995. La Toa: Satu Lukisan Analistis terhadao Antropologi Politik Orang Bugis. Ujung Pandang: Sanuddin University Press.

Nashir, Haedar. 2003. Menggali Kearifan Menghalau Kerakusan (Online).
(http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=116166&kat_id=49&kat_id1=&kat_id2= diakses tanggal 30 Juli 2007).

Pelras, Christian. 1996. The Bugis. London: Bleckwell.

Rahim, A. Rahman. 1985. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: Lephas UNHAS.

Said, Mashadi. 2003. Toddo Puli Temmalara: Jendela dengan Kaca yang Bening tentang Manusia Luwu. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional dan Pestival Galigo, Masamba 10-14 Desember.

Said, Mashadi. 2002. Peran Sastra dalam Pemahaman Antar-Budaya. Jurnal Sastra & Bahasa, No. 1.

Said, Mashadi. 1998. Konsep Jati Diri Manusia Bugis dalam Lontarak: Sebuah Telaah Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Bugis. Disertasi Belum diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang.

Said, Mashadi. 1998. Konsep Kepimpinan Bugis-Makassar. Majalah Kebudayaan .

Sewang H. Ahmad. 2007. Pelestarian Kearifan Lokal Melalui Pewarisan Bahasa Bugis. Makalah disajikan dalam Kongres I Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan, Makassar, 22-25 Juli.

Sutarto, Ayu. 2007. Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan Daerah di Tengah Proses Homogenisasi Budaya. Makalah disajikan dalam Kongres I Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan, Makassar, 22-25 Juli.

Wacik, Jero. 2005. Kearifan Lokal Seharusnya Dapat Atasi Persoalan Bangsa. (Online).
(http://www.kompas.com/gayahidup/news/0508/05/184117.htm. Diakses tanggal 30 Juli 2007).

Wahid, Sugira. 2007. Pengungkapan dan Pemantapan Jati Diri dan Kearifan Lokal. Makalah disajikan dalam Kongres I Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan, Makassar, 22-25 Juli.

Tang, H. Mahmud. 2007. Nilai-Nilai Luhur dalam Sastra Daerah yang Mendasari Keterjaminan Sosial Tradisional. Makalah disajikan dalam Kongres I Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan, Makassar, 22-25 Juli.

Tang, Muh. Rapi. 2007. Reso sebagai Roh Kehidupan Manusia Bugis: Budaya dari Mental dan Fisik, Sebuah Refleksi dar Lontarak. Makalah disajikan dalam Kongres I Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan, Makassar, 22-25 Juli.

7 Jul 2007

Seperti Fatimah yang Kelelahan

Dikutip dari hadist dari Abu Hurairah, cerita tentang Fatimah & Gilingan gandum

Suatu hari masuklah Rasulullah menemui putrinya tercinta Fatimah Az-Zahrah, didapatinya putrinya sedang menggiling syair (gandum) untuk dijadikan tepung dengan menggunakan sebuah penggilingan tangan dari batu sambil menangis tersedu-sedu. Rasulullah segera bertanya kepadanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Fatimah?, semoga Allah tidak menjadikan matamu menangis lagi”. Fatimah berkata “Ananda menangis karena merasa lelah menggiling tepung ini dan merasa berat dengan pekerjaan rumah yang ananda jalani”.

Setelah itu Fatimah pindah duduk disebelah Rasulullah SAW dan mengadukan persoalannya kepada ayahandanya, “Ayahanda, sudikah kiranya Ayah memerintahkan Ali (suaminya) membelikan ananda seorang jariyah (budak perempuan) untuk membantu meringankan pekerjaan rumahku yang berat ini, terutama membantu dalam membuat tepung syair”.

Mendengar pengaduan putrinya ini maka bangunlah Rasulullah SAW medekati penggilingan itu. Beliau mengambil biji-biji syair dengan tangannya yang diberkati lagi mulia dan meletakkannya ke dalam penggilingan tangan itu untuk seraya mengucapkan “Bismillaahirrahmaanirrahiim”. Seketika itu juga penggilingan tangan itu berputar dengan sendirinya atas izin Allah SWT. Rasulullah SAW kembali memasukkan biji-biji syair yang belum digiling ke dalam penggilingan tangan itu, sementara penggilingan itu tetap berputar dengan sendirinya seraya bertasbih kepada Allah SWT dalam berbagai bahasa sehingga habislah semua biji-biji syair itu digilingnya menjadi tepung.

Rasulullah SAW berkata kepada penggilingan tersebut, “Berhentilah berputar dengan izin Allah SWT”, maka seketika itu juga penggilingan itu berhenti berputar, Lalu berkata-kata penggilingan batu itu dalam bahasa Arab yang fasih atas izin Allah SWT yang berkuasa untuk menjadikan segala sesuatu dapat bertutur kata, “Ya Rasulullah, demi Allah Dzat yang telah mengutus Baginda sebagai Nabi dan Rasul-Nya, seumpama Baginda menyuruh hamba untuk menggiling seluruh biji syair yang ada di jagat timur sampai barat, niscaya akan hamba gilingkan semua menjadi tepung”.

Selanjutnya penggilingan itu berkata, “Sesungguhnya hamba telah mendengar dalam kitab Allah SWT suatu ayat yang berbunyi (artinya) :

“Hai orang-orang yang beriman. Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak menduharkai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.(At-Tahrim:6)

Maka hamba takut, ya Rasulullah jikalau kelak hamba menjadi batu yang dimasukkan kedalam neraka”.

Rasulullah kemudian bersabda kepada batu penggilingan itu, “Hai batu, bergembiralah dan bersenang-senanglah karena engkau akan menjadi salah satu dari batu yang akan dipakai membangun gedung mahligai (istana) Fatimah Az-Zahra di surga kelak”. Maka bergembiralah penggilingan batu itu mendengar berita tersebut dan kemudian diamlah ia.

Selanjutnya Rasulullah berkata kepada putrinya, “Jika Allah SWT menghendaki untukmu, wahai Fatimah, niscaya penggilingan ini akan menggiling tepung sendiri sebanyak yang engkau kehendaki tanpa menggunakan bantuan tenagamu, akan tetapi Allah SWT menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya derajatmu. Ya Fatimah, perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah SWT akan menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya satu kebaikan dan mengangkat satu derajatnya. Ya Fatimah, perempuan mana yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya, maka Allah SWT menjadikan antara dirinya dan neraka tujuh buah parit pemisah. Ya Fatimah, perempuan mana yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci rambut mereka, maka Allah SWT akan mencatatkan baginya ganjaran pahala orang yang memberi makan kepada seribu orang yang kelaparan dam memberi pakaian kepada seribu orang yang telanjang. Ya Fatimah, perempuan mana yang menghalangi hajat-hajat tetangganya, maka Allah SWT akan menghalanginya dari meminum air telaga Kautsar pada hari kiamat”.

“Ya Fatimah, yang lebih utama dari itu semua adalah keridhaan suami terhadap istrinya. Jikalau suamimu tidak ridha kepadamu, tidaklah akan aku doakan kamu. Tidakkah kamu ketahui wahai Fatimah, bahwa ridha suami (yang shaleh) itu adalah ridha Allah dan kemarahan suami (yang shaleh) itu adalah kemarahan Allah?. Ya Fatimah, apabila seoran perempuan mengandung janin didalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya dan Allah akan mencatatkan baginya tiap-tiap hari dirinya mengandung seribu kebaikan dan menghapuskan darinya seribu kejahatan. Apabila ia mulai sakit hendak melahirkan maka Allah mencatatkan untuknya pahala orang-orang yang berjihad pada jalan Allah (jihad fisabilillah). Apabila ia melahirkan anaknya maka keluarlah ia dari dosa-dosanya seperti keadaannya pada hari ibunya melahirkannya, dan apabila ia meninggal tidaklah ia meninggalkan dunia ini dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan Allah akan mengkaruniakan untuknya pahala seribu haji dan seribu umrah serta beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat”.

“Perempuan mana yang melayani suaminya dalam sehari semalam dengan baik hati dan ikhlas serta dengan niat yang benar, maka Allah akan mengampuni semua dosa-dosanya dan Allah SWT akan memakaikannya sepersalinan pakaian yang hijau dan dicatatkan untuknya dari setiap helai bulu dan rambutnya yang ada pada tubuhnya seribu kebaikan dan dikaruniakan Allah untuknya seribu pahala haji dan umrah. Ya Fatimah, perempuan mana yang tersenyum dihadapan suaminya, maka Allah akan memandangnya dengan pandangan rahmat. Ya Fatimah,
perempuan mana yang menghamparkan hamparan atau tempat berbaring atau menata rumah untuk suaminya dengan baik hati maka berserulah untuknya penyeru dari langit (malaikat) “Teruskanlah amalmu maka Allah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang”. Ya Fatimah, perempuan mana meminyaki rambut suaminya dan jenggotnya serta memotongkan kumis suaminya dan menggunting kukunya, maka Allah akan meringankan sakaratul mautnya, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman surga serta Allah akan menyelamatkannya dari api neraka dan diselamatkan saat ia melintas di atas titian Shirath”.

——————————

Bagi sebagian muslimah, menjalani hari-hari baru sebagai seorang istri memanglah tidak mudah. Adanya kebiasaan-kebiasaan baru, yang harus disesuaikan dengan ritme hidup diawal menjalani biduk rumah tangga, baik dari segi waktu, tenaga, maupun pikiran, membuatnya acapkali merasa kuwalahan, terlebih lagi ketika sudah dikaruniai buah hati. Dimulai dengan harus membersihkan rumah, memastikan kebutuhan suami & anak sandang pangan, hingga pemenuhan kebutuhan diri sendiri, yang semuanya berpacu dengan kecepatan waktu.

Kesiapan, memang seharusnya sudah terpatri di dalam benak & hati para muslimah sebelum memutuskan untuk menikah, entah itu kesiapan lahir maupun batin. Namun, kadang kenyataan bisa jadi lebih dari yang sekedar dibayangkan, kenyataannya, semuanya bisa lebih melelahkan dari yang pernah dikhawatirkan atau tidak pernah dikhawatirkan sama sekali sebelumnya, hingga dibutuhkan keteguhan, kesabaran dan pengertian baik dari istri maupun suami, di masa-masa penyesuaian babak baru kehidupan ini.

Mengutip dari Hadits di atas, bahwa seorang Fatimah putri Rasulullah SAW pun, yang sudah dijanjikan syurga oleh Allah, masih bisa merasa kelelahan dalam mengurus rumah tangganya, sampai ia berurai air mata. Dari sini, bisa dikatakan, bahwa Fatimah r.a. juga manusia biasa, seorang muslimah, hamba Allah, yang punya sifat dasar sebagai manusia, yaitu memiliki perasaan resah, resah karena kelelahan mengurus rumah tangga. Namun, untunglah ada sang Ayah, Rasulullah SAW, yang dapat menghiburnya dengan janji-janji Allah terhadap apa-apa yang ia kerjakan untuk suami dan anak-anaknya, tentang balasan di akhirat nanti terhadap amal-amal baik, dari sekecil apapun yang ia lakukan dengan ikhlas, untuk mendapat Ridho Allah, melalui Ridho suami.

Cerita Fatimah & gilingan gandum serta nasihat sang Ayah, mungkin memang telah ditetapkan oleh Allah SWT, untuk dijadikan pedoman bagi umat Rasulullah, khususnya bagi para muslimah dalam melaksanakan kewajibannya, juga sebagai gambaran normal dari kehidupan berumah tangga yang didalamnya penuh keberkahan namun syarat akan ujian. Tak apa menangis, kalau ingin menangis, karena kelelahan, namun perlu kita ingat kembali untuk apa & untuk siapa yang kita lakukan dan kepada siapa kita akan kembali.

Sungguh, begitu menyejukan dan melegakan jika kita ingat kembal janji-janji Allah, terhadap hambanya yang berbuat baik & ikhlas.

Semoga kita sebagai muslimah tetap istiqamah dalam menjalankan kewajiban. Amin

13 Jan 2007

cinta-kahlil gibran

kenapa kita menutup mata ketika kita tidur?
ketika kita menangis?
ketika kita membayangkan?
itu karena hal terindah di dunia tdk terlihat

ketika kita menemukan seseorang yang
keunikannya sejalan dengan kita, kita bergabung
dengannya dan jatuh ke dalam suatu keanehan
serupa yang dinamakan cinta.

Ada hal2 yang tidak ingin kita lepaskan,
seseorang yang tidak ingin kita tinggalkan,
tapi melepaskan bukan akhir dari dunia,
melainkan suatu awal kehidupan baru,
kebahagiaan ada untuk mereka yang tersakiti,
mereka yang telah dan tengah mencari dan
mereka yang telah mencoba.
karena merekalah yang bisa menghargai betapa
pentingnya orang yang telah menyentuh kehidupan
mereka.

Cinta yang sebenarnya adalah ketika kamu
menitikan air mata dan masih peduli terhadapnya,
adalah ketika dia tidak memperdulikanmu dan
kamu masih menunggunya dengan setia.

Adalah ketika di mulai mencintai orang lain dan
kamu masih bisa tersenyum dan berkata
“aku turut berbahagia untukmu”

Apabila cinta tidak bertemu bebaskan dirimu,
biarkan hatimu kembalike alam bebas lagi.
kau mungkin menyadari, bahwa kamu menemukan
cinta dan kehilangannya, tapi ketika cinta itu mati
kamu tidak perlu mati bersama cinta itu.

Orang yang bahagia bukanlah mereka yang selalu
mendapatkan keinginannya, melainkan mereka
yang tetap bangkit ketika mereka jatuh, entah
bagaimana dalam perjalanan kehidupan.
kamu belajar lebih banyak tentang dirimu sendiri
dan menyadari bahwa penyesalan tidak
seharusnya ada, cintamu akan tetap di hatinya
sebagai penghargaan abadi atas pilihan2 hidup
yang telah kau buat.

Teman sejati, mengerti ketika kamu berkata “aku lupa”
menunggu selamanya ketika kamu berkata “tunggu sebentar”
tetap tinggal ketika kamu berkata “tinggalkan aku sendiri”
mebuka pintu meski kamu belum mengetuk dan
belum berkata “bolehkah saya masuk ?”
mencintai juga bukanlah bagaimana kamu
melupakan dia bila ia berbuat kesalahan,
melainkan bagaimana kamu memaafkan.

Bukanlah bagaimana kamu mendengarkan,
melainkan bagaimana kamu mengerti.
bukanlah apa yang kamu lihat, melainkan apa
yang kamu rasa,
bukanlah bagaimana kamu melepaskan melainkan
bagaimana kamu bertahan.

Mungkin akan tiba saatnya di mana kamu harus
berhenti mencintai seseorang, bukan karena orang
itu berhenti mencintai kita melainkan karena kita
menyadari bahwa orang itu akan lebih berbahagia
apabila kita melepaskannya.

kadangkala, orang yang paling mencintaimu adalah
orang yang tak pernah menyatakan cinta
kepadamu, karena takut kau berpaling dan
memberi jarak, dan bila suatu saat pergi, kau akan
menyadari bahwa dia adalah cinta yang tak kau sadari

Penyair:

7 Jan 2007

Kal ho na ho

“Sebuah pengingkaran pada hati nurani dan cinta kasih dari diri kita adalah sebuah sketsa dan perjalanan hidup yang paling pedih untuk ditapaki dan dihadapi. Kita sangat tahu diri bahwa dengan kondisi kita yang ada pada saat ini tidak memungkinkan untuk mengakui atau bahkan mengungkapkan sebuah cinta pada orang kita cintai. Kita tak tahu ada apa esok. Ada sesuatu di hati kita. Akan lebih indah mungkin, jika kita membawanya bersama kematian kita. Kita hanya bisa berharap, bahwa di kehidupan esok dia pasti milik kita.”

6 Jan 2007

kamus ogie

Gitalara

A

Aga : Apa

Ambo’ : Bapak, ayah

Ana’ : Anak

Aja’ : Jangan

Ada : Kata

Ala : Ambil

Ale : Diri sendiri

Aseng : Nama

Aru : Rumput

Arung : Bangsawan, Ningrat

Anri : Adik

Arua : Delapan

Anre : Makanan

Andi : Saudara muda/adik/bangsawan

Ase : Padi

Asera : sembilan

Ahera : Akhirat

Aha’ : Ahad/minggu

Awwah : Aduh

Aje : Kaki

Aju : Kayu

Angkalung : Bantal

Anjong : Terbang

Ancuwari : Kalamayer, kaki seribu

Awo : Bambu

Api : Api

Acca : Ilmu

Ane : Anai, rayap

Ata : Budak

Ampa’ : Petik/memetik dawai

Assareng : Acuan membuat songkok recca

Abala : Celaka/sial

Anynyarang : Kuda

Ampi : Jaga

Asu : Anjing

Aju : Kayu

Alau : Timur

Ati : Hati

Akka : Angkat

Amaure : Paman/Tante/Bibi

Aliri : Tiang rumah

B

Baja : Besok

Bale : Ikan

Bojo : Siput

Baje : Bajik

Bola : Rumah

Batu : Batu

Baine : Isteri

Bunre : Alat Penangkap ikan

Beppa : Kue

Boro : Bengkak

Botting : Kawin duduk pelaminan

Bangi : Pipi

Bulu : Gunung, rambut halus

Bembe’ : Kambing

Bembala : Domba

Bura : Batang pisang

Bukkang : Kepiting

Bone : Nama Kabupaten

BajoE : Nama tempat

Bombang : Ombak

Bokang : Elang

Bare’ : Beras

Balipeng : Kelabang

Bekku : Tekukur

Basi : Cendawan, jamur oncom

Bendi : Dokar, andong

Burasa : Buras

Benrang : Parit, Got

Bakkaweng : Atap rumah

Belo : Hias

Banynya : Angsa

Benynya : Animo, antusias

Bosi : Hujan

Boco’ : Kelambu

Bitara : Langit

C

Cicca’ : Cecak

Capio : Pet

Cakkong : Tengkuk

Ceddi : Satu

Ciddi’ : Jijik

Colo : Korek

Calabai : Laki-laki bertingkah seperti wanita

Calalai : Perempuan bertingkah seperti laki-laki

Cappe : Ikan Patek

Cempa : Asam

Capio : Pet

Camming : Cermin

Cemme : Mandi

Cenning : Manis, rasa gula

Calleda : Genit

Cindolo : Cendol

Canggoreng : Kacang tanah

Cambang : Ikan sepat, bulu pelipis

Coddo : Tusuk

Canring : Pacar

Cangkiri : Cangkir

Cigaro : Kerongkongan

Cukkuru : Cukur

Cinampe : Sebentar

Cili : Bolos, intip

Cule : Main

Cera’ : Nazar

Cinra : Gadis Tua

Cuku’ : Tunduk

Cora : Warna

D

Degaga : Tidak ada

Dodong : Lemah, lambat

Dongo’ : Bodoh, dungu

Dongi : Jenis burung Pemakan padi

Doja : Khatib

Dange : Nama Kue

Dare : Kebun

De’nre’ : Tadi

Deceng : Baik

Duri : Onak

Duwa : Dua

Dendang : Lagu, nyanyian

Dacculi : Telinga

Darame : Jerami padi

E

Elong : Nyanyian, lagu

Elo : Mau, akan

Engka : ada

Enre’ : Naik

Era : Ajak

Ellong : Leher

Ebbu : Bikin, buat

Erung : Uterus

Eppa : Empat

Enneng : Enam

Esso : Hari

Essang : Pikul

G

Golo : Bola

Gellang : Aluminium

Galung : Sawah

Gantolle : Capung

Golla : Gula

Gere’ : Sembelih

Gora : Berteriak

Gemme : Rambut

Genne : Pas, cukup

Garegge : Gergaji

Guru : Guru

Gatteng : Tarik

H

Handu’ : Handuk

I

Indo : Ibu

Idi : Kita

Isi : Gigi

Inreng : Utang

Iso : Isap

Iko : Kamu

Iti’ : Itik, bebek

Iyya : Saya, aku

Iyyanae : Inilah

Iga : Siapa

Inge : Hidung

Itai : Lihatlah

Iwe : Bibir

J

Jokka : jalan

Jambang : Berak, buang air besar

Janci : Janji

Jari : Jemari

Juku : daging

Julekka : Langkah kaki

Jaru : Acak

Jaguru : Tinju, Kepalan Tangan

Jangeng : Gila

Joli : Mencret

Jago : Kuat, berani

Janggo : Jenggot

Jori : Garis

Juling : Juling

Jama : Kerja

Jama’ : Jabat tangan

Jonjong : Gesah, Tergesah

K

Kalapung : Kura-kura

Kareba : Kabar

Kadera : Kursi

Keteng : Bulan bercahaya

Komba : Betina

Konteng : Juara kunci

Konja’ : Jelek

Kantong : Kantung, wadah, Saku Baju

Kedo : Goyang

Kaluku : Kelapa

Kanuku : Kuku

Kalepa : Ketiak

Kaliki : Pepaya

Kasiasi : Melarat

Kajompi : Kacang Panjang

Kajao : Nenek yang sudah tua

L

Lolo : Bergerak

Lanro : Pukul

Lame : Ubi, ketela pohon

Lajo : Layu

Lambace : Tomat

Ladang : Lombok

Labbu : Tepung

Lecce’ : Pindah

Luppe : Lompat

Lejja : Injak

Lampe : Panjang

Lao : Pergi, berangkat

Lemo : Jeruk

Leba : Mendarat

Lopi : Perahu

Lojeng : baki, nampan

Lojo : Lintah

Lorong : Molor

Lari : Lari

Lipa : Sarung

Lise : Isi, muatan

Lessi : Vagina

Laso : Penis

Linro : Dahi

Lila : Lidah

Lumpang : Terbalik

Leppang : Singgah, berhenti

Lebeng : Meluap

Linro : Dahi

Lima : Lima

Lali : Jengger

Lolli : Menggeliat

Loseng : Merayap

Lanro : Tempa, menempa

Lanjong : Tinggi

Lenrong : Belut

Luppe : Lompat

Langgo : Teman, kawan

M

Manre’ : Makan

Menre’ : Naik

Masse : Erat

Manu : Ayam

Muttama’ : Masuk

Maulu’ : Pikun

Monro’ : Tinggal

Malunra’ : Gurih

Macenning : Manis

Magello : Bagus

Mabela : Jauh

Maloang : Luas, lapang

Malebba’ : Lebar

Maccule : Bermain

Macai : Marah

Majjulekka’ : Melangkahi

Mattekka : Menyeberang

Magguru : Belajar

Maggaru : Mengacau, mengusik

Mangaru : Marah, geram

Mangolo : Menghadap

Mangule : Menggotong

Majjaguru : Meninju

Mataesso : Matahari

Mappangaja : Menasihati

Maradde : Menetap

Marota : Kotor

Mapaccing : Bersih

Macinna : Rasa ingin

Maccoddo : Menusuk

Maccolo : Mencair

Mappile : Memilih

Matinro : Tertidur

Manasu : Sudah matang

Mannasu : Memasak

Mawari : Basi

Moto : Bangun

Munri : Belakang

Mamuare : Semoga

Mallua : Menyala

Miccu : Ludah

Meong : Kucing

Mettu : Kentut

Makkenru : Bersetubuh

Makkunrai : Wanita

Massempe : Menendang

Maddoja : Begadang

Mannoko : Marah-marah

N

Nanre : Nasi

Nalai : Diambil

Namo : Nyamuk

Nennu : Tarik ulur, ingat

Nonno : Reda serta merta, menurun

Nennia : Juga

Naekiya : Akan tetapi

Nasaba : Karena, sebab

Ngingngi : Gusi

Nyameng : Enak,

O

Onde : Onde-onde, nama kue

Ola : Tempuh

Obbi : Panggil

Onrong : Tempat

Okko : Gigit

Oja : Kegila-gilaan

Onri : Belakangan

Orowane : Pria

P

Pura : Sudah

Pagero : Nyiru

Pattapi : Tampi

Paggalung : Petani

Panasa : Nangka

Pandang : Nenas

Palese : Toples

Pinra : Ubah

Punna : Punya

Pengnge : Ketan

Penne : Piring

Penno : Penuh

Pere : Ayun

Paja : Berhenti

Pijja : Dendeng

Pitu : Tujuh

Pitte : Benang

Pejje : garam

Peddi : Sakit

Pella : Panas

Pedde : Padam

Posi : Pusar

Ponco’ : Pendek

Palecce : Memindahkan

Pajokka : Tukang jalan

Penre’ : Menaikkan

Pongke’ : Pinggang

Poppa : Paha

R

Renreng : Tali, tambang

Ranreng : Menetap

Ranjang : Ranjang

Rante : Rantai

Rampe : Sebut, menyebut

Rekko : Bila, kalau, jika

Rakkapeng : Ani-ani

Riawang : Utara

Riaja : Barat

Riattang : Selatan

Relle’ : Jagung

S

Sappa : Cari

Sappo : Pagar

Sappo’ : sepupu

Saro : Untung

Sanre’ : Sandar

Sandala : Sandal

Sanggara : Pisang Goreng

Sore : Kandas

Sero : Timba

Sonra : Miring

Sompe : Layar

Salo : Sungai

Solang : Rusak

Sulle : Ganti

Salipi : Ikat pinggang

Sugi : Kaya

Sampo : Tutup

Sanra : Gadai

Seddi : Satu

Sempe’ : Tendang

Sokkang : Dorong, tolak

Sulara : Celana

Sokko : Beras ketan masak

Songko’ : Topi

Sangadi : Lusa

Soddi : Bakal gula merah

Sanru’ : Sendok nasi

Sanro : Dukun

Sinru : Sendok

Suro : Duta

Sokku : sempurna

Singkeru : Simpul

Sikku : Sikut

Sippo : Gigi Tanggal

Sitonra : Sepaham, sependapat

T

Tau : Orang

Tabbe : Banyak

Tuo : Hidup

Tudang : Duduk

Tumpe : Topang, dukung

Tuppang : Kodok

Tappareng : Danau

Tedong : Kerbau

Tanre : Tinggi

Tana : Tanah

Tanro : Sumpah

Teddu : Bangunkan dari tidur

Tettong : Berdiri

Tanrang : Tanda

Tado : Lasso

Teme : Kencing, pipis

Teddung : Payung

Tellu : Tiga

Tappere : Tikar

Taro : Simpan

Tasi’ : Laut,

Tasi : Benang Plastik

Tanru’ : Tanduk

Tabbe/Teddeng : Hilang

Te’de’ : Dinding bambu

Tadde : Keras

Tinro : Tidur

Timu : Mulut

Tengnga : Tengah

U

Ulle : Bisa, mampu, dapat

Ula : Ular

Ulaweng : Emas

Unrai : Benang

Unci : Nungging

Uri : Pantat, bokong

Ure : Urat

Uli : Kulit

Ujang : Kertas

Utti : Pisang

Ulu : Kepala

Uwae : Air

Uttu : Lutut

Uni : Suara, bunyi

Uleng : Bulan

Uleng Mattappa : Bulan Purnama

Unga : Bunga

W

Wari : Pangadereng

Wanua : Kampung

Wenni : Malam

Watang : Tubuh, pokok

Ware : Beras

Were : Nasib, peruntungan

Winru : Buatan

Waju : Baju

Witi : Betis

Welua : Gemme’

Wetteng : Gandum

Wara : Bara Api

Catatan :

Huruf awal yang tidak terdapat dalam bahasa Bugis, yakni : F, V, X, Q, Z

www.telukbone.org (Lembaga Seni Budaya Teluk Bone)


Tanggapan

  1. saya senang sekali membuka situs ini, saya dapat mengetahui bahasa bugis dengan benar dikarenakan saya keturunan bugis bone yang ke X yang lahir di luar tanah bugis yang tidak pandai berbahasa bugis…kalau bisa ada kamus bugis dengan tulisan bugis dan indonesia saya kira sangat menarik…apa lagi di bumbui musik tradisional bugis lewat instrumen…
    terima kasih


  2. sekera kumpulkan tokoh adat, ulama, pemerhati budaya untuk menyusun kamus bahasa bugis dengan aksara lontara’ yang disempurnakan dengan ejaan yang lengkap( kalau dalam bahasa arab ada fathah, kasroh, dommah, sukun, mad,dsb)
    banyak orang bugis dirantau yang sangat membutuhkan


  3. bagus bgt dh, pokoknya kosakatanya ditambah aj,
    usul saya, sbg to`ugi ditambah donk dgn peribahasa n pantun2ny, cos sy sbg orng bugis dikit bgt tau ttang sastra bugis


  4. Bahasa Bugis harus tetap dijaga dan dilestarikan. Jangan sampai terkubur oleh bahasa gaul anak remaja jaman sekarang.


  5. Saya juga senang dengan adanya situs ini. Saya anak bugis kelahiran sumatra (Kab. Indragiri Hilir – Riau. Desa Kuala Enok). Semoga ini dapat bermanfaat banyak buat anak-2 bugis yang belum begitu faham artinya.


  6. Terima kasih, itulah harapan kami. Salama topada salama


  7. terima kasih atas post nya..sangat berguna..saya minta kebenaran untuk meng’kopi’ postnya ke blog saya


  8. mohon maaf ini sappo’ ada yang mengganggu di benak saya.
    bgini sappo gita diatas tulis..

    Riawang : Utara

    Riaja : Barat

    Riattang : Selatan

    terus saya teringat klo kita bertanya arah solat ( kiblat = Barat ) ditanah bugis “to Bone tokka’ sappo” orang disana jawab ” mangolo riattang ki na’ “…


  9. As. Alaikum. Buat Saudaraku Mappa. Orang Islam di Indonesia bila shalat lima waktu selalu menghadap ke Barat (ke arah Kiblat) karena Kiblat di Arab itu secara geografis berada di sebelah barat Indonesia.
    Mengenai kata bugis ” Mangolo riattang ki ” berarti menghadap ke selatan

    Trims


  10. Saya keturunan Bugis Johore dan tidak dapat membelajari bahasa asal saya. Saya amat berterima kasih jika dapat dikirimkan Kamus Inggeris – Bugis atau Indonesia – Bugis kepada saya.


  11. akhirnya nemu apa yg saya cari2…
    terima kasih banyak… :)